writing, sharing, expressing

Pemanasan Global

Awalnya, mungkin seperti kebanyakan orang kita, saya cuek bebek dengan rencana Konferensi Dunia untuk Global Warming di Bali. Saya pikir, ah, pasti sama saja dengan konferensi dunia lainnya yang hanya terkesan formalitas dan unjuk gigi negara-negara hebat.

Tetapi, publikasi tentang Konferensi Pemanasan Global itu memberi kesempatan saya menemukan kontak dengan kenalan lama. Dia seorang wartawan senior di Jakarta yang memiliki segudang pengalaman hebat, diantaranya pernah meliput perang AS-Vietnam, Pembajakan Pesawat Whoila, sampai Kunjungan Bung Karno ke Kuba, dan tentu tak terhitung moment lainnya. Nama dan nomor kontak beliau saya temukan di sebuah koran lokal, yang memuat pengumuman tentang lomba menulis Global Warming.

Bermula saat itu, kami berkomunikasi melalui telpon dan email, saling bercerita tentang segala hal, khususnya dunia jurnalistik. Saya kenal beliau tahun 2003, saat persiapan saya bekerja di sebuah Tabloid Jakarta, yang menempatkan saya di Balikpapan, Kaltim. Beliau sangat ramah dan mudah berbagi ilmu. Namun kemudian setelah saya ditempatkan di Balikpapan dampai bertahun-tahun kemudian, saya kehilangan kontak!

Suatu hari, beliau menelpon saya, dan mengatakan belum sempat merespon email, karena sibuk mempersiapkan Konferensi Dunia di Bali itu. Rupanya, perusahaan PR dan Komunikasi yang dikelolanya bersama teman-teman, termasuk yang dilibatkan dalam perhelatan akbar ini. Maka mata saya pun mulai tertuju pada "gawe akbar" yang semula saya cuekin itu.

Yah, konferensi dunia di Bali ini membuka mata kita semua. Jika orang kita lebih senang menghubungkan segala macam bencana alam yang terjadi dengan takhyul, orang luar ternyata lebih realistis. Menurut sebuah siaran khusus yang saya tonton, abad ini bumi memasuki lintasan terdekatnya dengan bulan dan matahari. Efeknya, peningkatan grafitasi bumi, sehingga air laut dengan segala efeknya ikut "tersedot", dan menggenangi bumi. Tak hanya itu, produksi gas emisi yang gila-gilaan, telah lama mengurai senyawa ozon sehingga bolongnya "pelapis bumi" itu telah membuat ultraviolet menembus tanpa ampun, menghangatkan air laut dan mencairkan es di kutub. Volume air kian meningkat, bumi kian tergenang. Siklus iklim pun menarah pada perubahan drastis. Terjawab keheranan saya, mengapa sekarang jeda kemarau dan penghujan susah ditebak? Tidak lagi "disiplin" seperti dulu? Semua sudah bergeser, karena memang "kiamat sudah dekat".

Ah, mengapa saya ikut ngoceh tentang Global Warming? Meskipun dunia sibuk memikirkan pemanasan global, lebih banyak orang sibuk soal isi perut. Dunia prihatin dengan "kiamat yang sudah dekat", kita masih berkutat dengan mencari sesuap nasi. Dunia berjuang menahan bahkan mengurangi "pemanasan global", Pontianak malah sibuk "manas" karena persoalan sepele.

Tauk ah, gelap!




4 komentar:

  1. Haloo bung Pujangga78
    Saya sangat setuju sekali dengan posting anda. Sudah saatnya sekarang kita memikirkan "kesehatan" bumi kita ini. Jangan hanya semata "kesehatan" finansial saja yang kita pikirkan dan kita kejar, Bagimana nantinya kita bisa mencari "kesehatan" finansial kalau bumi tempat kita mencari nafkah menjadi hancur. Apa yang bisa kita lakukan kalau sudah terjadi demikian??

    BalasHapus
  2. Yup
    pemanasan lokal dan global

    dunia makin panas, panas..panas...
    kata gigi dalam lagunya nakal..

    lain konteks satu ekspresi

    BalasHapus
  3. yah
    kadang hidup ini bagai arena judi
    lapak-lapak yg terbentang
    pilihan-pilihan yang tersuguh
    resiko-resiko yg menantang
    kesusahan-kesusahan yg terbayang
    dan
    meniru bahasa sinetron
    "kiamat memang sudah dekat"

    salam

    BalasHapus
  4. hutan lenyap, jadi gurun
    siapa yg salah? kita
    sungai kering, kemarau panjang
    siapa yg salah? kita
    bencana makin ganas, banyak jiwa melayang
    siapa yg salah? kita
    lalu, kapan TUHAN yg salah?
    masak iya BELIAU tidak pernah salah?

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Pemanasan Global