writing, sharing, expressing

Hadapi Kriminalisasi Masyarakat, Perbanyak Pengacara Rakyat

Banyaknya kriminalisasi yang dilakukan pengusaha perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat adat, membutuhkan advokasi intensif dari pengacara rakyat. Seringkali masyarakat dijerat dengan berbagai pasal, padahal mereka membela hak ulayat atas tanah adat.


"Saat ini sangat penting untuk memperbanyak pengacara rakyat untuk menangani kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Apalagi KUHP/KUHAP bersifat diskriminatif, belum mengakomodir hukum adat," ujar Abdias Yas, Direktur Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), dalam seminar publik yang digelar Wahli bersama Sawit Watch, Senin (9/4/12) di Hotel Merpati, Pontianak.


Seminar publik ini membahas soal membumikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Perkebunan dan Kehutanan dalam tata kelola sumber daya alam untuk kehidupan rakyat dan lingkunan hidup di Kalimantan Barat. Ini terkait dengan dikabulkannya judicial review yang diajukan masyarakat ke MK pada 19 September 2011.


Judicial review diajukan untuk menguji UU 18/2004 tentang Perkebunan, juga UU 41/1999 tentang Kehutanan. Bagi masyarakat adat dan petani, keputusan MK tersebut merupakan pengakuan akses dan kontrol masyarakat adat atas wilayah kelola dan sumber kehidupan mereka yang dinegasikan oleh negara dan pemilik kapital.


Abdias memaparkan, banyak pasal KUHP yang dimanfaatkan untuk menjerat masyarakat yang berjuang membela hak mereka sendiri. Sebagai contoh, pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan; pasal 333 tentang merampas kemerdekaan orang lain.


"Kalau ada masyarakat menahan alat berat perusahaan yang menggusur lahan adat mereka, perusahaan menuntut mereka dengan pasal 333. Padahal alat berat dan operatornya ditahan untuk disidang adat," ujar Abdias.


Dalam rentang 2008-2010, LBBT mencatat, dari 196 izin perkebunan kelapa sawit di 10 kabupaten di Kalimantan Barat, terjadi 58 kasus antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Jumlah ini baru mencakup kasus yang didampingi LBBT, belum termasuk kasus lain yang diadvokasi lembaga lain.


Menurut data tersebut, angka kasus relatif tinggi terjadi di Ketapang dengan 17 kasus, Sekadau 14 kasus, dan Sanggau 14 kasus.


Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Dr Hermansyah, yang juga menjadi pembicara, mengatakan, ada perbedaan paradigmatik antara hukum negara dengan hukum adat masyarakat. Hal ini mengakibatkan konsepsional yang berbeda antara pemerintah dan masyarakat adat, misalnya tentang hak dan kewajiban.


"Masyarakat adat bersama kearifan tradisinya, sudah ada sebelum negara ini berdiri. Maka pengakuan terhadap masyarakat adat jangan sekadar bersifat simbolik, tapi harus ada perlindungan hukum atas hak-hak mereka," kata Hermansyah.


Dia memaparkan, secara antropologis bisa ditemukan bukti fisik eksistensi masyarakat adat dan keraifan tradisinya. Misalnya adanya perkuburan tua dan tembawang, yakni bekas permukiman tua yang telah kembali menjadi hutan, tapi tetap meninggalkan ciri khas berupa tanam-tumbuh.


"Di dalam areal hutan yang menjadi wilayah konsesi perkebunan, bukan hanya ada ternak seperti kerbau, kucing, dan sebagainya, tapi juga ada manusia dengan hak-haknya," ujar Hermansyah.


Menurut dia, keadilan tidak hanya bisa ditemukan dalam hukum negara, tapi juga bisa ditemukan dalam hukum-hukum lain.


SEVERIANUS ENDI



0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Hadapi Kriminalisasi Masyarakat, Perbanyak Pengacara Rakyat