Foto: historia.co.id |
Dari perspektif mereka yang mengangung-agungkan materi, mungkin Bung Hatta bukan sosok sukses sebab masa tuanya yang miskin. Bahkan dia tak sanggup membeli sepatu kulit dan mesin jahit untuk istrinya,
Penilaian ini bertolakbelakang dengan kalangan idealis. Bagi mereka yang idealis, justru menjadikan Bung Hatta menjadi teladan. Sebab kejujurannya untuk tidak memanfaatkan peluang-peluang memperkaya diri, hidup bersahaja dan tidak korupsi. Meskipun dia hidup dalam "kemiskinan" namun tetap punya harga diri.
Pada Agustus 2015 ini, usia kemerdekaan RI telah mencapai 70 tahun. Mohammad Hatta merupakan satu di antara proklamator, mendampingi Bung Karno saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Kemudian Bung Hatta menjadi wakil presiden, hingga mengundurkan diri pada 1956. Apa yang terjadi kemudian? Saya terdorong untuk googling beberapa informasi mengenai Bung Hatta.
Beberapa catatan yang dibuat oleh orang-orang yang sejaman dengan Hatta, menampilkan aneka nuansa "menyesakkan dada" tentang proklamator ini. Jenderal Hoegeng, mantan Kapolri, misalnya, menuliskan dalam memoarnya suatu informasi yang rasanya sulit dipercaya.
Hoegeng mengaku tahu bagaimana melaratnya Hatta setelah mundur sebagai Wakil Presiden tahun 1956. Dia menulis: "Ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, diberitakan dia hanya memiliki uang tabungan Rp 200. Uang pensiunnya pun tak cukup untuk membayar biaya listrik."
DUA RATUS RUPIAH, pembaca! Memang tidak mudah bagi kita untuk saat ini mengkonversikan kira-kira berana nilai uang tersebut jika konteksnya berada di tahun 2015. Silakan Anda membayangkan sendiri.
Kisah lainnya terkait keinginan Bung Hatta untuk membeli sepatu bermerk Bally. Kisah ini sudah populer sebenarnya. Bung Hatta menyimpan guntingan iklan sepatu itu di sela bukunya.
Mungkin dengan harapan suatu saat jika sudah punya uang, dia ingin membelinya. Sampai dia meninggal, sepatu itu tak kunjung terbeli. Orang menemukan guntingan iklan dari koran itu terselip di bukunya, dan meninggalkan sejuta kisah haru!
Pernahkah Anda membayangkan, selevel mantan wakil presiden tidak sanggup membayar iuran (atau rekening?) air bersih? Bung Hatta mengalaminya.
Kisah ini muncul dari biografinya Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977. Bang Ali atau Ali Sadikin adalah Gubernur Jakarta yang legendaris (kapan-kapan saya coba menulis tentang bang Ali deh).
Bang Ali terkaget-kaget mendengar info bahwa Bung Hatta tak sanggup membayar iuran PAM (Perusahaan Air Minum). Bahkan, dia juga kesulitan membayar rekening listrik, pajak, dan bangunan, akibat kecilnya uang pensiun yang dia terima.
Untunglah Bang Ali bukan tipe pejabat yang hanya bisa beretorika dan membuat pencitraan diri di atas penderitaan orang lain. Dia melobi DPRD DKI untuk menjadikan Bung Hatta sebagai warga kota utama sehingga bebas dari iuran air dan pajak bumi dan bangunan.
Jika Bung Hatta bersikap materialistis, posisinya pada masa itu sangatlah memungkinkan bagi dia untuk meraih kekayaan. Tetapi mengapa dia tidak melakukannya?
Baiklah, mungkin bagi Bung Hatta, dia sudah merasa cukup dengan sesuatu yang memang sudah menjadi hak-nya. Meskipun hak-nya itu rupa-rupanya jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup menjalani hari tuanya.
Dia mungkin tidak ingin mendapatkan materi dengan cara yang tidak wajar. Dan itu sebab, dia muncul sebagai sosok yang bersahaja.
Lalu, masihkan relevan untuk menimbang sukses atau tidaknya kehidupan seorang Bung Hatta? Jawabannya: tidak!
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih telah berkomentar :)