Saya dan James Ricthie. |
Lagi-lagi Malaysia dituding "menyenggol" Indonesia! Beberapa hari belakangan beredar pesan berantai melalui Blackbarry Massanger (BBM) yang memuat link URL di internet tentang sebuah video.
Dalam BBM itu disebutkan, link itu memuat video "Indonesia dikatain anjing oleh orang-orang Malaysia". Masih disertai semacam ajakan: "jangan lupa sebarin ke teman-teman biar Malaysia dikecam balik oleh rakyat Indonesia".
Saya tidak ikut melakukan broadcast atas BBM itu. Pun saya tidak mau repot-repot melakukan download atas file video di link tersebut.
Reaksi beberapa teman, mungkin juga sebagian pengguna sosial media lain, sangat beragam atas hal ini. Status facebook dan blackberry profile beberapa teman berisi kecaman, di antaranya "menyerang" balik dengan umpatan-umpatan.
Ibarat prokem yang populer awal tahun 2000-an, "gue sih asyik aje selama elo kaga nyenggol gue". Atau, "loe jual, gue beli".
Sekali lagi, saya memutuskan untuk tidak ikut-ikutan. Sejenak pikiran dan ingatan saya melayang pada peristiwa beberapa bulan silam, saat berkunjung ke satu kawasan perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Malaysia.
"Yang berhadapan langsung dengan Malaysia itu kami yang tinggal di sini, bukan orang Jakarta sana," ucap seorang teman yang saya kunjungi di Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari kampungnya itu, hanya perlu kurang dari 30 menit naik sepeda motor melalui jalan tanah untuk sampai ke kawasan Sarawak, Malaysia Timur. Dia menyayangkan syahwat perang orang Jakarta (untuk menyebut pihak-pihak yang jauh dari perbatasan) yang begitu besar untuk membangkitkan kembali spirit ganyang Malaysia.
"Saat orang Jakarta menyerukan perang dengan Malaysia, kami malah bekerja bersama di ladang, makan minum di rumah panjang," tutur sahabat saya itu.
Maklum, teman saya itu, dari sub etnik Dayak Iban. Suku yang sama dengan sebagian warga negara Malaysia yang tinggal di kawasan Sarawak. Dulunya sebelum garis khayal negara membatasi kawasan itu, orang Iban di kawasan ini sudah lebih dulu hidup turun-temurun dalam komunitas dengan aktivitas yang sama dan tak terpisahkan.
Ketika warga Malaysia dari etnik Iban berladang, budaya gotong-royong yang diwariskan sejak zaman nenek moyang masih berlaku. Artinya, keluarga mereka dari kawasan Badau (yang notabene adalah wilayah Indonesia) dan sekitarnya yang juga orang Iban, membantu mereka mengerjakan ladang. Saling bantu dalam mengerjakan ladang adalah hal biasa di hampir sub etnik Dayak seantero Kalimantan!
Jadi, kerjasama atau gotong-royong mengerjakan ladang antara orang Iban di Malaysia dengan iban di Indonesa sulit dilihat sebagai kerjasama G to G, tentu saja, namun lebih pada hubungan antar komunitas homogen. Pusing, kan? Memang, salah satu tugas negara adalah membuat rakyatnya pusing, hehe.
"Kalau ada seruan perang, siapa yang harus kami bunuh? Keluarga-keluarga kami yang kebetulan berada di sebelah sana batas negara, yang terpisahkan oleh teritorial ini?" lagi sembur sahabat saya tadi.
Dia menyambung, "Hanya batas negara yang membuat kami terpisah. Jiwa kami tetap sama, sebagai orang-orang Iban dengan tradisi perladangan dan budaya yang sama."
Ini sekaligus jawaban terhadap panasnya "ajakan perang" saat Malaysia dituduh mencaplok budaya Indonesia, ketika ada iklan made in Malaysia yang menampilkan tari-tarian Dayak. Bukankah tarian etnik Dayak yang mereka tampilkan dalam iklan tersebut, adalah juga milik warga mereka sendiri?
"Ndak bisa kita apa-apain itu. Kami ini masih satu rumpun, tarian mereka ya tarian kami juga," komentar seorang tokoh Dayak Kayaan di Pontianak, Dr Aloysius Mering, yang waktu itu saya mintai pendapat.
Aloysius memang salah satu tokoh Dayak Kayaan, sub etnik Dayak yang selain hidup di kawasan Kalimantan Barat dan Timur, juga hidup di kawasan Sarawak. Hubungan kekerabatan dan kerjasama tetap terjalin hingga saat ini. Organisasi Dayak di Kalimantan Barat, kerap bekerja sama dengan organisasi Dayak di Sarawak.
Dari mengikuti aktivitas mereka (waktu itu sebagai wartawan yang melakukan peliputan), saya lantas berkenalan dengan seorang wartawan senior bernama James Ritchie. Usianya sekitar 60-an tahun. Pria berdarah campuran Skotlandia dan China ini mengaku tak setitikpun darah Dayak mengalir di urat nadinya. Tapi dia begitu fasih berbicara bahasa Iban, dan memahami berbagai ritual dan tradisinya.
Ketika dia berkunjung ke Kota Pontianak, kami selalu berusaha bertemu bersama rekan-rekan lain. Sekadar ngobrol dan bincang-bincang ringan. Suatu waktu, saya dan beberapa rekan sedang berada di Entikong, Kabupaten Sanggau. Entikong merupakan kawasan border yang sudah resmi sebagai pintu keluar masuk resmi kedua negara.
Saya mengirim short massage service (SMS) kepada James, menanyakan apakah mungkin makan siang bersama di negaranya. Keren! James punya waktu luang, dan kami tinggal "menyeberang" lewat border Entikong, menuju kota terdekat antara Entikong dengan Sarawak, yakni Tebedu, sebuah kota kecil yang rapi dan penuh dengan aktivitas perdagangan.
"Hebat, kita makan siang ke luar negeri. Hanya untuk makan siang!"
Kami makan lauk labi-labi (sejenis penyu) di sebuah restoran Thionghoa di Tebedu. Kami berbicara campuran bahasa Indonesia, Melayu, dan Inggris. Suasana akrab, bersaudara, dan hangat. Kami juga menyanyi bersama.
Nah, jika masih ada seruan dan ajakan perang melawan Malaysia, dalam benak saya segera terbayang wajah James, dan beberapa teman Malaysia saya lainnya. Tegakah saya, misalnya saat head to head, mengayunkan senjata ke arah mereka? Lalu kalau mau perang, siapa sebenarnya yang akan kita bunuh?
Atau seruan perang itu hanya retorika sebuah bangsa yang kebakaran jenggot mengalihkan suatu isu ke isu lainnya? Sudah benar-benar kurang kerjaankah kita mengurus bangsa ini, sampai hal-hal kecil harus berujung pada perang?
Sengaja saya tidak mau melakukan download atas file video yang disebutkan menghina Indonesia dengan perkataan "anjing". Bisa saja itu buatan orang iseng yang hobi melakukan "pengeruhan suasana". Atau bisa saja itu benar-benar buatan orang Malaysia, tepatnya oknum, yang tidak perlu ditanggapi. Perbuatan seorang atau sekelompok oknum, tak lantas harus digeneralisasi ke tataran negara.
Saya kira, masih sangat banyak hal-hal bermanfaat lainnya yang menanti untuk dibenahi, ketimbang meladeni efek-efek sosial media yang hobi dengan isu hoax. Ibarat masturbasi, lebih banyak tenaga terbuang daripada kepuasan yang dirasakan. Siapa yang rugi?
SEVERIANUS ENDI
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih telah berkomentar :)