writing, sharing, expressing

Kantong Plastik Hitam dari Pak Tua dan Nasehat Pram

Oleh Hanz Endi Pramana

Sudah lewat tengah malam, ketika aku menyelesaikan sedikit pekerjaan yang tersisa dalam laptop di sebuah cafe di sudut Kota Pontianak. Ketika menyalakan spedmo di parkiran, tiba-tiba ingat ada sesuatu yang harus dibeli, dan kendaraan itu kuarahkan ke warung kecil yang masih buka.

Inilah penampakan deterjen itu. 
Aku melihat seseorang, penampilannya kucel dan seperti peminta-minta. Tangannya terulur pada pemilik warung. Selintas kudengar gumaman seorang anak: "Aku takut!"

Aku mengabaikan lelaki tua yang kumuh itu. Berbelanja, membayar, dan bersiap hendak pergi. Saat menaiki spedmo, ahai... si lelaki tua menghampiriku dan tangannya tengadah.

Segera pikiranku menyimpulkan: oh ini peminta-minta. Kurogoh dua keping koin, sekeping Rp 1,000 dan sekeping lagi Rp 500 dari saku celana.

Pak Tua menerima koin itu, tapi ekspresinya seperti minta tambahan. Dia tunjukkan dua jari, telujuk dan jari tengah. Dua ribu? Dia tak bisa berbicara sepertinya. Agak kesal, kurogoh beberapa koin yang masih tersisa di saku celana.

Dua koin atau tiga, aku lupa. Pak Tua menerimanya, kemudian menyerahkan sesuatu. Cahaya lampu jalanan dan pancaran lampu warung tak membuat benda itu jelas di mataku. Seperti produk kemasan.

Lagi-lagi aku mengira, mungkin koin yang aku kasih tadi kurang. Kurogoh lagi koin dari saku celana, barangkali sekitar Rp 7,000 totalnya, aku tak tahu persis. Pak Tua itu menghitungnya di bawah pancaran redup lampu jalanan.

Lalu benda "aneh" yang tadi hendak diserahkan padaku ditambahkan sehingga menjadi tiga buah. Ditaruh dalam wadah plastik hitam yang agak besar.

lalu terjadi adegan ini:

Pak Tua menyerahkan kantong berisi tiga bungkusan kucel tadi. Aku menolak, dengan isyarat mengibaskan tangan.

Eh, Pak Tua malah seperti hendak mengembalikan koin-koin itu kepadaku. Dalam bingung, kantong plastik hitam tadi aku terima, kulihat sepintas isinya, dan hendak kukembalikan ke dia.

Lagi, dia pun mengulurkan kembali koin tadi, mungkin hendak mengembalikannya padaku.

Dalam sedikit bingung, sementara dingin mulai menusuk (aku tak mengenakan jaket, bercelana pendek lagi), kunyalakan spedmo dan kembali ke rumah. Masih sedikit kesal. Bukan karena jumlah uang yang tak seberapa.

Tapi karena hingga saat itu, pikiranku menghakimi: "malas banget berurusan sama peminta-minta yang memaksa!" Eh, memaksa?

Perjalanan pulang ke rumah sebenarnya melewati satu bank sampah. Aku berencana membuang benda yang diberikan Pak Tua tadi ke sana. Tak jelas mengapa, niat itu kuurungkan.

Sampai di teras rumah, kulihat lagi apa gerangan isi kantong kresek itu. Ha! Tiga bungkus deterjen masing-masing bertakaran 57 gram! Apa?

Sambil memasuki rumah dan bersiap tidur, rasa sesal menggelayuti benakku. Betapa cepatnya aku menghakimi Pak Tua sebagai "peminta-minta yang memaksa".

Barangkali karena keterbatasannya, Pak Tua tak mampu berkata-kata. Itu sebab dia berbahasa isyarat yang telah salah aku tangkap. Barangkali dia tadi tidak memaksa meminta uang. Barangkali dia berniat menawarkan deterjen itu dan aku bisa membeli darinya.

Mungkin dia seorang pemulung tua yang menemukan benda-benda itu dari tumpukan sampah. Menilainya sebagai barang yang masih bisa dijual.

Mengenang Pak Tua hendak mengambalikan koin-koin karena aku menolak menerima kantong itu, rasa sesalku kian dalam. Aku meminta maaf kepadanya di dalam hati.

Pram, nasehatmu sering terlupa. Engkau mengatakan: adillah sejak dalam pikiran!

Aku telah bertindak tak adil terhadap Pak Tua tadi. Sejak dalam pikiran. Sejak melihat penampilannya yang kumuh, membawa karung kumal yang sepertinya penuh muatan yang entah apa.

Ptk, Kamis 30082018



2 komentar:

terima kasih telah berkomentar :)

Kantong Plastik Hitam dari Pak Tua dan Nasehat Pram