writing, sharing, expressing

Publish or Perish!

Pernah dengar "pameo" itu? Publish or perish! Terbitkan atau minggir! Sebuah pameo *slas* katamutiara *slas* idiom *slas* semboyan yang populer di kalangan intelektual Amerika. Seorang intelektual di sana memang dituntut untuk mempublikasikan "buah keintelektualannya" dalam suatu media *slas* jurnal *slas* buletin *slas* buku, sebagai wujud aktualisasi dirinya. Intelektual dituntut untuk mampu menyosialisasikan karyanya ke pada publik seluas-luasnya. Jika tidak? Pilihannya hanya satu: minggirlah! Tentu, dua-duanya bukanlah pilihan yang sederhana. Karya intelektual dalam bentuk tulisan memang sudah menjadi penanda level seseorang dalam jagad keilmuan.

Apakah memang "sekasar" itu hukum yang berlaku bagi intelektual? Baiklah, tak usah bicara soal seseorang itu intelektual atau tidak. Mari bicara orang perorang yang kehidupannya dekat dengan dunia tulis menulis. Saat menjadi asisten seorang doktor yang juga sosiolog dari Lab Sosio UI, saya menanyakan apakah dirinya sudah akan dipromosikan menjadi profesor *slas* guru besar? Dia menggeleng, dengan raut wajah seperti kesal. "Saya heran, Dik. Banyak guru besar kita yang karyanya kurang berbobot. Buku-bukunya diterbitkan oleh penerbit yang gak jelas. Juga banyak dosen yang gak pernah nulis. Saya gak bisa ngerti mereka-mereka itu, Dik." Lirih ucapannya di sela hisapan rokoknya.

Dia sendiri baru menelorkan 2 buah buku, keduanya dalam bahasa Inggris dan berupa hasil penelitian, diterbitkan oleh lembaga riset luar negeri (sayang saya lupa lembaga riset mana yang disebutnya). Menurutnya, bukan dia tidak mampu menerbitkan banyak karya, tetapi lebih karena selektif menentukan siapa yang akan me-review, memberi kata pengantar, dan penerbit mana yang akan menerbitkan. Wah, memang sebuah sikap konsistensi yang luar biasa! "Kalau saya menulis sebuah artikel, pasti saya membaca paling tidak 2 artikel di jurnal internasional sebagai referensi, selain bahan-bahan utama yang saya miliki," lagi ujarnya.

Saya sendiri masih memelihara asumsi, bahwa "produk" tulisan memiliki khalayaknya sendiri-sendiri. Para penggemar cerita stensilan yang dominan isinya uuuhhh *slas* aaahhh *slas* ooohhh yang yang erotis dan hiperbolik, tentu tak akan tertarik membaca "Burung-burung Manyar"-nya Mangunwijaya. ABG yang kecanduan bibir seksi Cinta Laura yang bhahasha Indhoneshianya mhasih lechek-lechek tentu lebih tertarik membaca Aneka Yess! ketimbang menelaah buku "Sejarah Perjuangan Bangsa". Penggemar Shakespiere yang bilang "apalah arti sebuah nama" mungkin saja tak suka "Salju Kilimanjaro"-nya Ernest Hemingway. Pengagum "Supernova"-nya Dewi Lestari barangkali tak tergiur oleh hasil penelitian luar angkasa NASA.

Penilaian itu bisa saja terlalu menghakimi. Dalam kenyataannya, sering kita tak usah sibuk-sibuk membuat border *slas* kotak *slas* batas untuk memisah-misahkan sesuatu. Bahwa setiap karya memiliki publiknya sendiri, memang tak bisa disangkal. Namun bahwa setiap karya memiliki publik yang beragam, lintas publik dan lintas selera, juga bukanlah suatu kemustahilan. Kenapa tidak?

Hanya saja, jika misalkan kebebasan untuk berkarya dalam dunia tulis menulis masih menjadi primadona hingga saat ini, barangkali sisi-sisi kepantasan yang harus lebih dipikirkan secara bijak, ketimbang sisi komersial semata. Jangan sampai untuk menghindarkan dakwaan "perish", maka apapun seolah sim salabim berubah menjadi karya yang sekadar asal jadi. Sebuah karya, hakekatnya merupakan hasil cipta yang original, meskipun memerlukan dukungan-dukungan dari berbagai referensi yang relevan. Terlepas dari itu semua, publik pembaca memiliki "kacamata" sendiri dalam menilai. Pernah saya temukan sebaris kalimat: "kadang pembaca lebih tajam matanya ketimbang penulis". Artinya, bersiaplah, jika karya telah dimunculkan ke publik, maka apresiasi dalam bentuk apapun akan beterbangan, atau sebaliknya adem ayem saja. Semua, tentu senantiasa menghadirkan makna. Tangkaplah makna itu!




0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Publish or Perish!