writing, sharing, expressing

Ajaran “Cinta Kasih” kembali diuji: Cover Majalah Tempo

Cover majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2008, memuat gambar Soeharto bersama anak-anaknya dengan headline “Setelah Dia Pergi”. Cover itu mengilustrasikan Soeharto duduk di tengah, dikelilingi keenam anaknya, di sebuah meja panjang. Jika diamati secara detil, cover itu mengingatkan pada sesuatu. Apa itu?

Segera terbayang, lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci. Bagi kalangan Kristiani, lukisan itu merupakan “rekaman” peristiwa perjamuan terakhir antara Yesus dengan keduabelas muridnya, sebelum Ia dijatuhi hukuman mati. Jika diamati dengan cermat dan diperbandingkan, memang referensi kita segera mengacu pada The Last Supper. Tak salah lagi, ilustrasi pada cover itu sangat-sangat mirip dengan lukisan karya Leonardo da Vinci!

Apa yang terjadi kemudian? Ketua Forum Komunikasi PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Repulik Indonesia), Hermawi Taslim mendesak agar Tempo segera menarik majalah edisi tersebut. "Kami meminta majalah tersebut ditarik dari peredaran, agar tidak menimbulkan keresahan," kata Hermawi Taslim usai bertemu Pimred Tempo, seperti dikutip okezone (5/2/2008).

Dalam pertemuan selama 1 jam dengan redaksi Majalah Tempo, memang didapatkan penafsiran yang berbeda antara umat Kristiani dengan Tempo. Hermawi mengatakan, ada 3 poin yang dibahas di dalam pertemuan. Pertama, cover tersebut menyingung hati nurani dan keimanan umat Katolik. Sebab foto penjamuan tersebut merupakan perlengkapan ibadah bagi kaum Kristiani. Kedua, permintaan klarifikasi dan maaf serta pertanggungjawaban dari pihak Tempo. Ketiga, ingin memastikan peristiwa seperti ini tidak terulang lagi, terutama bagi seluruh umat beragama lainnya di Indonesia.

"Secara teknis susah ditarik, karena sudah beredar selama 2 hari," kilah Toriq usai menerima perwakilan umat kristiani yang mengajukan protes ke kantornya, seperti dikutip okezone (5/2/2008). Namun, ia menegaskan, untuk majalah Tempo dengan edisi bahasa Inggris tidak akan menggunakan cover tersebut. Toriq mengatakan, sangat menghargai kedatangan umat kristiani yang memprotes cover majalah Tempo.

"Kehadiran mereka untuk berdialog sangat kami hargai. Karena ini merupakan aspirasi yang baik yang kami terima. Sikap damai ini sangat berguna untuk menyelesaikan masalah," katanya. Ia juga menegaskan, bahwa Tempo tidak bermaksud untuk melukai umat Kristiani dalam mencantumkan lukisan Las Supper karya Leonardo da Vinci. "Ternyata gambar tersebut sangat diagungkan umat Kristiani. Intinya ini adalah perbedaan penafsiran," pungkasnya.

Perbedaan Penafsiran
Baiklah, soal perbedaan penafsiran, sangat kentara betapa Bung Toriq—dan dengan demikian institusi Tempo--sangat dangkal pengetahuannya, khususnya soal lintas agama.

Mengapa saya sampai berkesimpulan demikian? Tak harus dengan kacamata seorang kurator lukisan hebat pun, kita sudah mampu menilai “kesakralan” lukisan The Last Supper. Ada Yesus bersama murid-muridnya dalam sebuah perjamuan, yang kini kita warisi dalam sakramen ekaristi. Sakramen ekaristi, suatu puncak ibadat yang berlaku dalam tradisi Katolik Roma.

Ritual tertinggi yang dirayakan di Gereja, karena Yesus berpesan, “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku.” Dalam sakramen ekaristi, hanya seorang pastor yang boleh mengucapkan kalimat itu, sebagai imam dan pemimpin ibadat, sebagai seseorang yang tertahbis untuk menjalankan karya perutusan.

Lalu, perbedaan penafsiran bagaimana yang dimaksudkan oleh Bung Toriq? Barangkali, perbedaan soal hormat atau tidaknya orang pada posisi Yesus sebagai tokoh sentral dalam lukisan itu. Logikanya, jika kita tidak menghormati seseorang, maka dengan mudah kita akan mengkamuflasekannya dalam wujud apapun.

Era teknologi telah menyediakan software Adobe Photoshop, misalnya, untuk melakukan suatu “kreasi” terhadap objek apapun, tergantung nilai rasa seseorang. Jika kita tidak menghormati Bill Clinton, dengan mudah kita bisa melakukan suatu “cloning” wajahnya menjadi monyet. Jika kita tidak menghormati Pak Harto, dengan mudah kita melakukan “mountase” sehingga wajahnya menjadi Donald Duck.

Maka Tempo, dengan mudah merubah wajah Yesus menjadi wajah Pak Harto dan wajah murid-murid Yesus menjadi wajah anak-anak Pak Harto! Lihatlah bacground ilistrasinya, meski dalam kontur dan ornamen yang dibuat agak berbeda, namun jelas sekali hanya manipulasi visual dari lukisan yang sebenarnya.

Penilaian Pribadi
Saya pribadi menilai, karya itu sesungguhnya kreatif. Sebuah smart move telah dilakukan terhadap sebuah karya lama dan tersohor, untuk mendaratkannya pada situasi terkini. Hanya saja, sayangnya, kedangkalan referensi sang kreator, telah membuat sebagian masyarakat Indonesia terluka, karena smart move itu dilakukan terhadap Tuhan kami! Tuhan kami, kawan, Ia adalah Yesus, Tuhan kami!

Tetapi, kawan, Tuhan kami telah mengajarkan “cinta kasih” kepada umatnya. Ajaran itu menjadi hukum utama bagi umat Kristiani. Cintailah sesamamu, seperti dirimu sendiri, begitu salah satu penjabarannya. Maka, saya pribadi pun berharap, kejadian ini tak usah menjadi fanatisme sempit, solidaritas buta, yang justru melecehkan ajaran itu.

Dengan semangat cinta kasih pula, majalah Tempo pasti tetap bisa melaksanakan aktivitas jurnalistiknya, tanpa harus khawatir akan serangan ke kantornya. Tak akan, tak akan terjadi, karena itu bukan ciri pengikut Yesus. Suatu dialog untuk penyelesaian akan terasa jauh lebih elegan dan berwibawa, tanpa mengurangi rasa hotmat bagi keduabelah pihak.

Komentar berikut, salah satu contohnya. "Kita tak ambil pusinglah soal cover tersebut. Biarkah sajalah majalah itu beredar. Biarkan umat sendiri yang menilai. Kami menganggap mungkin cover itu sebagian dari karya tulis dalam jurnalistik," ungkap Alfonsus Gultom, salah seorang aktivis Katolik Pekanbaru kepada okezone di Gereja Santa Maria, Pekanbaru, Rabu, (06/02/2008).

Sri Paus Yohanes Paulus II pun mengunjungi Ali Agca di penjara, dan mengampuninya. Padahal, Ali Agca nyaris menewaskannya, dengan tembakan yang merobek lambungnya. Iwan Fals pun meminta maaf pada umat Hindu saat mereka tersinggung karena gambar Dewa mereka dipasang pada sampul kaset “Manusia Setengah Dewa”. Dengan elegan, Iwan segera menarik pederadan kasetnya dari pasaran, sebagai wujud tanggungjawab dan rasa hormatnya.

Bung Toriq, anda tentu dimaafkan dalam kejadian ini. Tentu, kawan, tak diragukan lagi. Teruslah bekerja. Saya hanya mengingatkan, mungkin akan berbeda kenyataannya jika hal ini anda lakukan terhadap kelompok umat yang lain.

Dalam situasi berbeda, Tuhan kami memang sering ditukikkan dalam masa kekinian. Saya sendiri pernah menyaksikan lukisan Yesus dengan baju lengan panjang yang disinsing sampai siku, sedang bermain hp.

Juga, Yesus dengan wajah riang sedang bergitar. Marahkah saya? Tidak. Saya malah tersenyum, karena Yesus “hadir” dalam kekinian, menyaksikan perubahan dunia dan umatnya. Tapi, lukisan atau ilustrasi itu semata-mata menampilkan kekinian yang coba diwujudkan dalam diri Yesus.

Bukan mengubah wajah Yesus menjadi wajah seseorang yang telah dicap sebagai penjahat oleh banyak orang! (Bung Toriq, apa yang anda rasakan, seandainya orang melukiskan Tuhan atau Nabi anda yang muncul dalam era kekinian?).

Saat Bill Clinton didera kasus perselingkuhannya dengan Monica Lewinsky, media Amerika dan dunia seakan berlomba mengejeknya. Karikatur berbagai bentuk ditampilkan. Di antaranya, karikatur ini, hanya saja referensi saya terbatas untuk melacak lukisan aslinya karya siapa dan menceritakan apa. Tak terlalu penting, kecuali sebagai gosip.

Kasus Tabloid Monitor
Yang menarik untuk direview saat ini adalah kasus tabloid Monitor tahun 1980-an. Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksinya yang beragama Katolik, membuat suatu angket tentang tokoh pilihan pembaca.

Hasil angket menempatkan posisi Nabi Muhhamad pada peringkat ke-11, sedangkan Arswendo sendiri di peringkat ke-10. Artinya, pilihan bahwa Arswendo yang “lebih unggul satu digit” dari Sang Nabi, merupakan pilihan responden yang mengisi polling itu. Memang, itu merupakan hasil polling, apa adanya, bukan kemauan Arswendo dan juga bukan kemauan tabloid Monitor. Dan Arswendo, dengan enteng dan tanpa beban, memuat hasil polling itu, apa adanya.

Apa yang terjadi kemudian? Sebagian masyarakat Muslim marah, terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai dipenjara selama 5 tahun. Ia dianggap menghina Nabi Muhhamad. Tabloid Monitor dibreidel, dan masyarakat kehilangan satu media terlaris saat itu.

Mengapa sampai Tabloid Monitor dibreidel? Itulah hebatnya cakar rezim orde baru. Jika kita berpikir lebih dewasa dan bijak, mestinya kasus ini cukup diproses secara hukum kalau dianggap terjadi tindak pidana berat, tanpa harus mematikan terbitnya Tabloid Monitor. Kesalahan Arewendo—barangkali—soal “kepekaan sosial”.

Polling itu memang apa adanya, karena bersumber dari responden, dan sebagai hasil survey sebenarnya sah-sah saja. Namun yang terlupakan, soal kepekaan sosial, akan kemungkinan hasil yang sebetulnya apa adanya itu ternyata telah melukai umat lain. Apes lagi, Arswendo beragama Katolik, maka tuduhan pelecehan itu semakin tajam. Ia harus “membayar mahal” atas kejadian ini.

Post ScriptumDi era orde baru, jika ada media massa yang dianggap melanggar, dilakukan tindakan politis oleh pemerintah, yakni penghentian penerbitan atau pembredelan. Contoh yang paling terkenal adalah penghentian penerbitan Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik, yang memuat pemberitaan mengenai pembelian kapal selam bekas oleh pemerintah yang dianggap sarat dengan praktek-praktek Nepotisme, Kolusi dan Korupsi (NKK) pada tahun 1994.

UU Pers yang sekarang lebih maju dan reformis. UU ini dilahirkan pada periode Presiden BJ Habibie. Tidak ada lagi kewajiban perizinan mendirikan media, seperti jaman rezim orba, dan pemerintah pun tak bisa membreidel sebuah media. Jika Anda punya dana besar dan tenaga yang dinilai mampu, silakan bangun media tanpa harus pusing memikir perijinan yang rumit. Hanya “pasar” yang memiliki power untuk mematikannya. Jika media tidak diminati pasar, dia akan mati pelan-pelan dengan sendirinya.

Soal cover majalah Tempo, memang mempunyai suatu pola atau style yang khusus. Mereka senang menampilkan karya karikaturistik dalam setiap desain covernya. Ini tentu saja salah satu aktivitas kreatif, sekaligus kritis. Sosok SBY bisa ditampilkan dengan segala multidimensinya dalam cover Tempo.

Begitu juga tokoh lain seperti Megawati, Gus Dur, pokoknya siapa saja. Dengan lirikan dan tanpa pikir panjang, kita akan tahu citra apa yang sedang dibangun Tempo atas tokoh yang dikartunkan dalam covernya. Hal ini pernah diteliti oleh pekerja media, Agus Sudibyo, beberapa tahun lalu, yakni saat meneliti cintra Presiden Gus Dur dalam cover majalah Tempo.

Ajaran cinta kasih memang sedang diuji. Seberapa mampukah ia bertahan, dalam derasnya arus globalisasi dan perkembangan media. Setiap orang bisa dengan bebas berekspresi. Tanpa ada yang sanggup melakukan sensor, selain daya kreativitas itu sendiri. Tempo sedang berhadapan dengan kelompok umat yang mengutakan hukum ‘Cinta Kasih”. Maka, kejadian ini pun pasti akan berlalu dengan elegan.

*Severianus Endi, lulusan Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mantan Redpel Majalah SaKUBAR, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Seorang pengikut Yesus Kristus.




5 komentar:

  1. halo endi ... sdh lihat komentar ku di kotak yg kurang maksimal belum? di situ ku simpan sisir plastik dan sandal jepit

    BalasHapus
  2. perkataaan "perbedaan penafsiran" membuktikan "kedangkalan" bukan hanya rasionalitas ttp juga mentalitas. Sbg sorg "kreator" majalah populer, mestinya reset dan review menjadi saringan yg cukup ampuh utk tdk menimbulkan efek balik yg luar biasa sbg akibat yang sdh terlanjur terjadi yang mestinya bisa dibuat "tdk terjadi". aku bisa berkata bahwa klo bgt si TEMPO itu serba dangkal yah, hanya utk org2 yang mengejar sensasi dan mencari gara2. Ini kan biasa terjadi pada anak2 beranjak remaja yg baru tumbuh bulu2.

    BalasHapus
  3. Mgr,

    merunut Ernst Cassier...

    dan sebuah kenyataan hadir bahwa lagi2 manusia adalah "animal symbolicum" bukan?

    (istilah ini pertama kali saya dapatkan dari bung falfas)

    manusia ber-aksi dan bereaksi terhadap simbol dan tanda.

    barangkali, caranya lah yang menunjukkan kualitas kemanusiaannya.

    - nday

    BalasHapus
  4. Saya setuju dengan tulisan bang Endi. Perbedaan dan tingkah laku umat berbeda agama di negara kita memang kontras sekali. Kadang, yang tak bersalah juga dipukuli, apalagi yang melakukan kesalahan. Lihatlah FPI yang melakukan razia warung2 makan di Jakarta pada bulan Ramadhan. Apakah mereka pikir tindakan itu benar?? Sekarang apa yang diutamakan? fisik atau niat? Itu aja. Kalau fisik yang diutamakan, ya tentunya jangan ada yang menyediakan makanan pada masa puasa. Tapi kalau niat, apapun yang menggoda takkan terpengaruh dan takkan membuat sakit hati. Begitu juga kita, umat Kristen, pengikut Yesus. Cinta kasih bukan sebuah kata-kata mutiara... bukan sebuah kata-kata gombal seperti para pemuda merayu pemudi. Tetapi kita menerapkan ajaran cinta kasih dalam tindakan, perbuatan dan dengan sepenuh hati. Masa ini adalah masa untuk memaafkan... Yesus tidak menunjukkan kekuatan untuk menjadi penebus, tetapi justru dengan kelembutan dan kelemahannya, Ia menjadi penebus kita.

    be-a-candle.blogspot.com

    BalasHapus
  5. ARTIKELNYA BAGUS BANGET GAN ... POSTINGNYA DITAMBAH LAGI DONK GAN ... MAKASIH YA GAN... OIYA YANG PENGEN BACA BACA

    ARTIKEL UNIK DAN FOTO FOTO GOKIL .... TINGGAL KLIK SALAH SATU..

    ===>> BRA PALING UNIK DI DUNIA
    ===>> FOTO - FOTO KEJADIAN LUCU
    ===>> KOLEKSI FOTO HOT LUNA MAYA GA PORNO
    ===>> FOTO PESAWAT TERCEPAT DI DUNIA
    ===>> ARTIKEL CARA2 MENINGKATKAN LIBIDO
    ===>> ARTIKEL HACKER CANTIK DUNIA
    ===>> CIRI CIRI CEWEK KALO MAU ML
    ===>> FOTO FOTO KOTA ANTIK DI DUNIA
    ===>> CARA AGAR WANITA CEPAT ORGASME
    ===>> ARTIKEL BAHAN HERBAL PEMBANGKIT LIBIDO
    ===>> CARA BERCIUMAN YANG BENAR
    ===>> 10 KEBIASAN PRIA YANG DIBENCI WANITA
    ===>> FOTO FOTO ARTIS CANTIK HOLYWOOD
    ===>> CARA AGAR WANITA CEPAT MINTA KAWIN
    ===>> RAHASIA WANITA CEPAT INGIN ML

    TRIMA KASIH AGAN... SALAM SUKSES AJA BUAT AGAN BLOG YA.....
    SMOGA BLOGNYA TAMBAH RAMAI PENGUNJUNGNYA...


    ---------->>>> TRIMS YA.....

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Ajaran “Cinta Kasih” kembali diuji: Cover Majalah Tempo