Aku tentu mengetahui kabar kepergian Ibu Ainun (72), istri mantan presiden BJ Habibie. Tapi seperti layaknya kepergian "orang besar", aku menganggap wajar. Apalagi di usia tua, setelah bergulat dengan penyakit, dan bukan kematian tiba-tiba yang memantik rasa ingin tahu.
Tapi, sosok tegar Habibie yang kehilangan sang tulang rusuknya itu, rupanya sanggup membuat aku menatap layar kaca lebih lama. TV swasta itu menyiarkan langsung prosesi pemakaman Selasa (25/5/10) siang itu tanpa putus, tanpa jeda komersial.
Satu segmen membuat aku terpaku, dan ikut larut dalam haru. Tatkala Habibie menaburkan bunga di liang lahat, sosok sang profesor menampakkan sisi "human" terdalam. Dia menangis tersedu-sedu, sambil menaburkan bunga-bunga itu.
Mulutnya menganga, layaknya orang menangis dengan kesedihan yang teramat sangat. Saat hampir larut dalam haru itulah, aku kaget dengan celoteh polos puteri sulungku.
"Papa, cacek angis..." ucap Dorothea, bidadari kecilku sambil mengarahkan jari mungilnya ke layar kaca.
Papa, kakek menangis, begitu maksud Dorothea. Dalam usianya yang baru 1,8 tahun, dia sudah mampu bereaksi terhadap sesuatu yang dilihatnya dengan susunan kata-kata sederhana.
"Tu...cacek angis tu, Pa," lagi celotehnya.
"Iya sayang, kakek itu nangis karena sedih," ucapku.
Bagi Dorothea, sosok lelaki tua, siapa pun dia, selalu disebutnya "kakek". Tetangga, orang yang kebetulan lewat di depan rumah, atau sanak saudara, jika berpenampilan tua, selalu disebutnya "cacek".
Mataku masih terpaku menatap siaran di layar kaca. Sosok Habibie itu, memang menampilkan aneka suasana hati. Ada ketegaran di sana, tapi juga bertumpuk perasaan yang tengah luluh lantak.
Penampilan sang profesor yang sesegukan, memang bisa membuat tersedak haru. Seseorang memberikan selembar tissu, dan di layar kaca kulihat Habibie melepas kacamatanya lalu mengelap air matanya. Dia pun dipapah menuju kursi.
Segmen berikutnya, saat meletakkan karangan bunga di pusara. Habibie kembali telihat luluh dalam duka mendalam. Setelah meletakkan karangan bunga, sejenak dia menjamah ujung nisan itu.
Seikhlas apapun melepas kepergian orang tercinta, rasa kehilangan tak bisa pupus begitu saja. Hari ini, aku banyak belajar dari sosok Habibie, tentang arti cinta, keiklasan, dan sisi paling manusiawi dari seseorang: tangis duka.
Sejumlah media online menulis berita dan memasang foto-foto yang menampakkan sisi kemanusiaan seorang Habibie. Berikut link-nya: VIVAnews.com: Tangis Habibie Pecah di Atas Liang Kubur Tribunnews.com: Habibie Menangis saat Jenazah Ainun Dimasukkan ke Liang Lahat Kompas.com: Air Mata Berlinang di Pemakaman Istri Detik.com: Air Mata Habibie Tumpah di Pusara Ainun Foto Detik.com: Air Mata Duka BJ Habibie
† Severianus Endi | Foto Ilustrasi: Detik.com
Tapi, sosok tegar Habibie yang kehilangan sang tulang rusuknya itu, rupanya sanggup membuat aku menatap layar kaca lebih lama. TV swasta itu menyiarkan langsung prosesi pemakaman Selasa (25/5/10) siang itu tanpa putus, tanpa jeda komersial.
Satu segmen membuat aku terpaku, dan ikut larut dalam haru. Tatkala Habibie menaburkan bunga di liang lahat, sosok sang profesor menampakkan sisi "human" terdalam. Dia menangis tersedu-sedu, sambil menaburkan bunga-bunga itu.
Mulutnya menganga, layaknya orang menangis dengan kesedihan yang teramat sangat. Saat hampir larut dalam haru itulah, aku kaget dengan celoteh polos puteri sulungku.
"Papa, cacek angis..." ucap Dorothea, bidadari kecilku sambil mengarahkan jari mungilnya ke layar kaca.
Papa, kakek menangis, begitu maksud Dorothea. Dalam usianya yang baru 1,8 tahun, dia sudah mampu bereaksi terhadap sesuatu yang dilihatnya dengan susunan kata-kata sederhana.
"Tu...cacek angis tu, Pa," lagi celotehnya.
"Iya sayang, kakek itu nangis karena sedih," ucapku.
Bagi Dorothea, sosok lelaki tua, siapa pun dia, selalu disebutnya "kakek". Tetangga, orang yang kebetulan lewat di depan rumah, atau sanak saudara, jika berpenampilan tua, selalu disebutnya "cacek".
Mataku masih terpaku menatap siaran di layar kaca. Sosok Habibie itu, memang menampilkan aneka suasana hati. Ada ketegaran di sana, tapi juga bertumpuk perasaan yang tengah luluh lantak.
Penampilan sang profesor yang sesegukan, memang bisa membuat tersedak haru. Seseorang memberikan selembar tissu, dan di layar kaca kulihat Habibie melepas kacamatanya lalu mengelap air matanya. Dia pun dipapah menuju kursi.
Segmen berikutnya, saat meletakkan karangan bunga di pusara. Habibie kembali telihat luluh dalam duka mendalam. Setelah meletakkan karangan bunga, sejenak dia menjamah ujung nisan itu.
Seikhlas apapun melepas kepergian orang tercinta, rasa kehilangan tak bisa pupus begitu saja. Hari ini, aku banyak belajar dari sosok Habibie, tentang arti cinta, keiklasan, dan sisi paling manusiawi dari seseorang: tangis duka.
Sejumlah media online menulis berita dan memasang foto-foto yang menampakkan sisi kemanusiaan seorang Habibie. Berikut link-nya: VIVAnews.com: Tangis Habibie Pecah di Atas Liang Kubur Tribunnews.com: Habibie Menangis saat Jenazah Ainun Dimasukkan ke Liang Lahat Kompas.com: Air Mata Berlinang di Pemakaman Istri Detik.com: Air Mata Habibie Tumpah di Pusara Ainun Foto Detik.com: Air Mata Duka BJ Habibie
† Severianus Endi | Foto Ilustrasi: Detik.com
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih telah berkomentar :)