writing, sharing, expressing

Pelatihan Menulis: Kegundahan yang Terus Berulang

Menjelaskan konsep dasar penulisan berita. IST
BEBERAPA kali saya diminta memberikan pelatihan menulis. Sebenarnya panitia yang menghubungi saya tidak menyebutnya sebagai "pelatihan menulis", tapi "pelatihan jurnalistik".

Kerapkali saya langsung mengernyitkan dahi. Pelatihan jurnalistik? Ndak salah nih? Untuk apa?

Jurnalistik terkait mekanisme perencanaan, pencarian bahan, penulisan, dan penyajian suatu berita untuk "diterbitkan" atau "dipublikasikan". Itulah esensi kerja jurnalisme.

Selain itu, pelatihan jurnalistik lazimnya diberikan pada para jurnalis, mulai yang baru magang sampai jurnalis yang akan meng-upgrade kemampuannya dengan berbagai teori dan genre yang terbaru.

Nah, kalau hanya menulis saja, tanpa harus berpatokan pada prinsip-prinsip jurnalistik, dan TIDAK diterbitkan, apakah masih bisa disebut karya jurnalistik? Apakah pelatihan seperti ini masih bisa disebut "pelatihan jurnalistik"?

Apakah tidak lebih tepat jika dibuat lebih spesifik, misalnya pelatihan menulis artikel opini, menulis cerita pendek, dan berbagai tulisan yang sifatnya relatif berbeda dengan kerja-kerja jurnalistik?

Latar belakang peserta yang menginginkan saya menjadi instruktur itu beragam. Umumnya berasal dari kalangan mahasiswa. Pernah juga kalangan remaja putus sekolah di sebuah dusun. Dan yang menurut saya tak kalah berkesan, saat memberi pelatihan jurnalistik bagi para pastor, para imam muda dari ordo Kapusin (OFM Cap) di Pontianak.

Konsekuensi sebagai instruktur terkait latar belakang peserta, jelas harus menyusun materi yang sesuai dengan kapasitas mereka. Berbicara di hadapan para pastor yang notabene para imam dengan tingkat pendidikan di atas rata-rata, akan sangat berbeda dengan berbicara di hadapan remaja putus sekolah.

Begitu juga dengan materi-materi yang disajikan di hadapan peserta mahasiswa, yang masih sangat fresh dengan aneka konsep, teori, dan hal-hal yang utopis dan mengawang-awang.

Baiklah. Kegalauan yang saya alami, sebagaimana terungkap dalam berbagai pertanyaan itu, bisa terjawab dengan hadirnya konsep "citizen journalism" yang mulai berkembang di Pontianak sekitar era 2010. Pengetahuan dan praktik ini saya dapatkan saat masih bekerja sebagai wartawn Tribun Pontianak, sebuah harian daerah milik Kompas Gramedia.

Harian daerah berbendera Tribun sudah tersebar di sejumlah kota, seperti Tribun Kaltim di Kalimantan Timur, Tribun Pekanbaru di Pekanbaru, Tribun Batam di Batam, Tribun Timur di Sulawesi Selatan, dan beberapa lagi. 


Berlatih memperdalam info dari sebuah foto. IST
Konsep dan praktik citizen journalism bisa menjawab keinginan kalangan awam (dalam artian kalangan bukan pekerja media massa) untuk turut serta berkiprah di dunia jurnalistik. Citizen journalism memberi kesempatan bagi warga awam non wartawan untuk juga menulis berita dan diterbitkan, sejauh memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik.

Nah, di sinilah relevansinya pelatihan-pelatihan yang sering dimintakan kepada saya sebagai instrukturnya! Mengajari para mahasiswa, pastor, remaja putus sekolah, untuk juga menulis peristiwa menarik dan penting yang bisa jadi tidak terjangkau oleh radar wartawan! Kenapa tidak?

Kegundahan berikutnya adalah: what's next? Saya menginginkan setelah pelatihan usai, selalu ada tindaklanjutnya. Bisa secara kolegial misalnya membidani terbentuknya suatu media internal dari kelompok yang saya latih.

Ataupun tidak lanjut dalam kapasitas yang personal, memunculkan orang-orang baru yang ikut berkiprah dengan tulisannya di media massa, baik sebagai perwujudan dari citizen jornalism, penulis artikel opini atau penulis cerita pendek. Oh ya, juga penulis surat pembaca.

Kegundahan ini beralasan, karena jika tanpa tindak lanjut yang nyata pasca pelatihan, saya beranggapan pekerjaan ini sia-sia. Seakan pelatihan itu hanya bagian dari ritme kehidupan yang formalistik belaka, rutinitas yang hanya lewat sejenak untuk kemudian dilupakan.

Itu sebabnya, setiap memberi pelatihan, selalu saya "kompori" peserta untuk mempraktikkan keterampilan menulis. Medianya banyak, jangan hanya terpaku pada media massa seperti koran yang telah menetapkan standar baku untuk menerbitkan suatu tulisan.

Di era teknologi yang kian berkembang, internet sudah merambah sampai ke pelosok negeri. Melalui internet, siapapun bisa membuat akun blog yang bisa dimanfaatkan untuk menayangkan tulisan dan foto yang mereka hasilkan.

Peserta sedang mendiskusikan hasil praktik. IST
Tapi kembali saya harus mengurut dada! Pelatihan itu lebih sering tinggal menjadi kenangan. Para peserta kembali sibuk dengan dunianya masing-masing. Memang pada masa awal, ada satu dua orang yang masih tergerak untuk menggunakan pengetahuan barunya, misalnya mencoba menulis, mengirimkannya ke koran, atau menulis di blog.

Saya pun berusaha secara rutin untuk mengunjungi blog-blog itu. Kadang saya beri umpan balik berupa kritikan dan saran untuk membuat si pemilik blog untuk terus berkarya sembari memperbaiki mutu tulisannya.

Lambat laun, benar, semua tinggal kenangan. Jejak-jejak karya di laman gratis di dunia maya itu pun seakan berdebu. Tak pernah ada lagi update terbaru. Bahkan yang menyedihkan, ada yang mengeluhkan sudah lupa user name dan passwordnya. Gubrak!

Inilah kisah sedih dari pelatihan menulis. Kisah sedih yang senantiasa menghadirkan kegundahan. Pada akhirnya saya sadarnya, pekerjaan menulis, baik dengan pendekatan jurnatistik ataupun tidak, selalu bersinggungan dengan kegundahan yang susul menyusul. Mungkin itu pula esensi menulis: berpindah dari kegundahan yang satu ke kegundahan yang lain.

* tulisan ini juga ditayangkan di blog www.kompasiana.com/endi_the_djenggoet



1 komentar:

  1. Dan pernah dimuat di majalah Betang edisi Desember 2012 juga.......hehehe
    Salam bg, blognya sngt menginspirasi kami para kaum bingung

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Pelatihan Menulis: Kegundahan yang Terus Berulang