writing, sharing, expressing

Sopan Santun di Tempat Maksiat

Ilustrasil. Foto: Net
JARUM jam hampir menunjuk pada waktu tengah malam, ketika saya dan seorang sahabat--sebut saja Bang Toyip--memasuki sebuah tempat hiburan malam di ibu kota. Dia yang memang penduduk metropolitan menjanjikan saya sebuah hiburan pelepas penat kerja.

Sebagai orang dari pedalaman, saya segera mengiyakan ajakannya. Meski orang kampung, hiruk-pikuk hiburan malam yang full-syahwat bukanlah barang asing bagi saya.

Lewat berbagai tulisan, di buku, di koran, di internet, bahkan beberapa videonya, sudah saya lihat dan cermati. Adrenalin ikut terpacu, meski menikmati dunia malam hanya lewat media semacam itu.

Tapi kali ini, saya bakal menyaksikannya secara langsung dengan mata kepala sendiri. Di pintu masuk, dua petugas berdasi menyambut kami dengan jabatan tangan dan memperkenalkan. Sopan sekali penyambutannya, bathinku. 

Saya, tentu saja, memperkenalkan diri dengan nama palsu. Ruangan itu remang, sorot lampu tembak aneka warna beberapa kali menghujam, dan di panggung sedang ditampilkan live show music.

Saya menikmati suasana dan lagu-lagu klasik yang dilantunkan penyanyi berbusana lumayan seksi: padanan hot pants dengan atasan minimalis! Isapan rokok dan beberapa teguk minuman terasa nikmat sekali.

Beberapa pelayan berpakaian seksi menghampiri kami, menyodorkan tangan, dan lagi kami berkenalan. Dengan sopan, meski berbusana seksi, mereka duduk menemani kami.

Saya masih saja tidak tergoda untuk mencandai pelayan itu, karena penampilan live show music di panggung betul-betul memikat. Lagu-lagu lama dinyanyikan dengan aransemen baru, apalagi di antaranya memang lagu kegemaran saya.

Mungkin karena merasa kehadirannya tidak dikehendaki, pelayan di sampingku berpamitan. Juga ditambah dengan kata-kata ini: "Bang maaf ya, abang pengen sendiri? Saya pamit ya," sambil kami berjabatan.

Dan saya memang tenggelam dalam kesendirian sambil menikmati suasana. Bukan sok suci, tapi dari awal saya tidak berniat ingin melakukan tamasya lendir. Menikmati suasana dan mempelajari sebagian kecil derap metropolitan, jauh lebih menarik bagi saya.

Tibalah pada acara puncak. Lima cewek menari dipanggung diiringi musik menghentak. Satu persatu busana pink mereka dilepas, dan...kini memang hanya tinggal CD hitam, satu-satunya kain yang menutupi aurat mereka.

Di luar "segitiga emas" itu, seluruhnya terbuka dan mereka berkeliling dari satu meja ke meja lainnya. Tak terkecuali meja kami.

Dan penari yang datangpun permisi dengan amat sopannya: mengatupkan kedua tangan sambil tersenyum, meminta persetujuan untuk show dengan jarak amat dekat sambil duduk di pangkuan. Bisa anda bayangkan, seorang gadis yang hanya bercelana dalam, duduk di pangkuan anda, dan melakukan gerak tari erotis?

Ilustrasi. Foto: Net.
Tak ingin melukai hati mereka, saya pun mengatupkan kedua belah tangan dan berkata: "Sorry, sorry." Rupanya dia paham, dan tidak jadi show di depan saya. Meski begitu, dia tak putus asa mendapatkan tips, dengan berkata: "Aku minum ya bang..."

Aku pun mengangguk. Seorang pelayan dengan wadah minuman menyodorkan seloki ke penari itu, dan dalam sekali tenggak, minuman itu habis. Sekali lagi, dia minta persetujuanku untuk meneggak satu seloki lagi, dan aku iyakan.

Usai sudah, dan dia berlalu untuk berkelana ke meja-meja lainnya. Pelayan membawa minuman senantiasa menyertai masing-masing penari. 

Berapa bayaran yang mereka terima? Sulit melakukan kalkulasi, tetapi sepintas bisa dilihat dari sejauh mana tamu-tamu memberikan saweran saat mereka show di pangkuan, atau memberi minuman dalam sloki itu.

Saya diberitahu, satu sloki seharga Rp 40 ribu, berarti dua sloki tadi Rp 80 ribu. Saya tidak bisa memastikan, malam itu berapa seloki mereka menenggak minuman, serta berapa tamu yang memberi saweran, dan apakah ada yang akhirnya deal sampai ke ranjang.

Kesan yang cukup terasa bagi saya terkait sopan santun di tempat-tempat semacam itu. Tidak serta merta seperti orang yang menganggap diri suci yang menghakimi semata sebagai tempat maksiat, para pekerja malam itu masih mengenal "tata krama" meski dalam ukuran yang berbeda.

Ada permisi, ada perkenalan, ada jabat tangan, dan ada kata maaf jika tidak berkenan. Masih ada tata krama di tempat yang dianggap maksiat seperti ini, dan pengunjung dibuat merasa nyaman, meleburkan diri sehingga sejenak bisa lepas dari kepenatan pikirannya.

Saya sering sekali menjumpai orang-orang yang menggap diri lebih suci dan bermartabat ketimbang orang lain. Tetapi pada saat yang sama, justru tingkah lakunya tidak mencermitkan martabat dan kesucian yang diklaimnya.

Bukankan itu namanya munafik? Hipokrit? Lebih berhargakah orang-orang seperti ini jika dibandingkan dengan penari-penari streap tease di tempat hiburan malam? Mari kibarkan bendera perang terhadap hipokrisi manusia!

SEVERIANUS ENDI




1 komentar:

terima kasih telah berkomentar :)

Sopan Santun di Tempat Maksiat