writing, sharing, expressing

Balada Franky: Kenangan Membesuk di Singapura

Saat menjenguk Franky 
di Singapore General Hospital, 22 Agustus 2010.
SEBUAH pesan masuk ke email yang saya baca melalui telepon seluler, Rabu 20 April 2010. Pesan itu mengabarkan, Franky Sahilatua, sang penyanyi balada, telah menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 15.00 WIB di sebuah rumah sakit di Jakarta.

Saya jadi teringat, pada 22 Agustus 2010, berkesempatan menjenguk Franky di Singapura. Waktu itu saya masih bekerja sebagai wartawan koran daerah di Pontianak, Kalimantan Barat.  

Sahabat baik saya di Jakarta tiba-tiba menelpon saya dan mengajak ke Singapura. Kantor mengizinkan saya berangkat.

Ini kali pertama saya berjumpa dengan Franky secara fisik. Kebetulan di Singapura, kami bertemu dengan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Pak Trias Kuncahyono. Maka kami pun membesuk bersama-sama.

Saat itu, Minggu (22/8/10), sekitar pukul 18.30 WIB atau 19.30 waktu Singapura, kami tiba di ruang rawat Franky. Penyanyi balada itu tampak tetap ceria dalam sakitnya.

“Hei, Putut…!” seru Franky dari kasurnya, saat sabahat saya yang baik hati, Putut Prabantoro memasuki ruang rawat di lantai dua itu. Mas Putut lah yang memungkinkan saya ikut membesuk, selain bersama rekan lainnya, wartawan Trans7, Mas Ardi.

Kala itu, Franky sedang makan bubur dan buah-buahan yang disiapkan rumah sakit. Seorang perawat berdarah India datang dan menanyakan apakah ada sesuatu yang kurang.

“Nah yang begini ini membuat saya masih punya harapan. Para perawat sangat memperhatikan pasien,” ujar penyanyi berdarah Ambon kelahiran Surabaya itu.

Sambil menguyah buburnya pelan-pelan, dia tampak bersemangat mengisahkan riwayat sakitnya. Penyakit yang tak kunjung terdeteksi saat dia menjalani aneka tes dan scan di sebuah rumah sakit internasional di Jakarta.

“Di Singapura ini, mereka cepat tanggap dan selalu transparan terhadap apapun kondisi pasien. Akhirnya saya tahu mengidap dua penyakit, tumor agresif di tulang ekor dan myeloma di sumsum tulang belakang yang menyebar ke seluruh tubuh lewat darah,” kata dia.

Sesekali, istrinya Harwantiningrum, menimpali, justru setelah di Singapuralah mereka mendapatkan penjelasan yang detail soal penyakit-penyakit itu. Sementara saat di Jakarta, kata Franky, ibarat peta buta, menjalani scanning terus-menerus, tapi jenis penyakit tak kunjung diketahui.

Sebelum memutuskan ke Singapura, Franky mengkisahkan, dia dirawat di sebuah rumah sakit international di Jakarta. Namun karena tidak ada kemajuan, dia mencari second opinion atas penyakitnya ke Singapura.

”Saya hanya berbekal uang S$7000. Jumlah itu dibagi menjadi dua. $S6500 untuk diagnosa penyakit dan sisanya untuk biaya tinggal isterinya di Singapura,” tambahnya.

Tiga hari setelah kedatangan di Singapura, Franky mulai menjalani perawatan intensif. Penyakit yang terdiagnosa di “Negeri Singa” itu, tidak ditemukan saat berobat di Jakarta. Padahal dia sudah menghabiskan biaya Rp 23 juta dan diagnosanya melenceng!

Rabu sore, saya mendapat kabar, Franky telah pergi selama-lamanya. Pun saat sakit menderamu, berbagai kisah tentang balada orang kecil, tak hentinya mewarnai. Beristirahatlah dengan tenang di Rumah Bapa, Amin.

SEVERIANUS ENDI




0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Balada Franky: Kenangan Membesuk di Singapura