writing, sharing, expressing

Sebuah Keputusan, Sebuah Pengorbanan: Secuil Kisah Hidupku

Begitu banyak pilihan yang dihadapi dalam menjalani hidup ini. Ada pilihan enak, ada pilihan sulit. Tetapi biasanya, pilihan yang terakhir itu lebih mendominasi. Sebuah perdebatan di televisi antara seorang gubernur metropolitan dengan presenter bisa menjelaskan hal ini.

Anda banyak menggusur rakyat kecil, begitu kira-kira "gugat sang presenter". Sang Gubernur menangkis: dalam proses pembangunan untuk kemajuan bersama, memang terkadang harus ada yang terpaksa dikorbankan!

Wah, jadi ingat di sekitar tahun 2003. Kala itu, saya hampir merampungkan skripsi. Sulit dan njelimet. Entah bagaimana munculnya, Pak Dekan yang punya hubungan cukup baik dengan saya tiba-tiba menelpon. Entah darimana dia mendapatkan nomor telepon tempat tinggal saya. Isinya: anda saya tunggu sore ini di kampus, ada tawaran menarik, kira-kira itu kata-kata yang masih bisa saya ingat.


Dengan sepeda motor pinjaman, saya melaju ke kampus. Saya temui Pak Dekan yang baik hati, sepertinya baru saja selesai melakukan ujian skripsi atau apapun dengan seorang mahasiswa di ruangan khusus. Saya lalu menghadap. Kata-katanya seperti menangkap masalah yang saya hadapi dalam pengerjaan skripsi. Ya, skripsi saya tersendat-sendat karena memang saya bermasalah dengan salah satu dosen pembimbing.

Dia lalu berujar, dalam ingatan saya: Ada kesempatan baik untuk kamu, yang mungkin tidak terlalu mudah untuk memutuskannya. Tetapi dalam hidup, terkadang ada beberapa kesempatan yang sama-sama bagusnya, tetapi kamu terpaksa memilih salah satu. Tak bisa memilih dua-duanya, maka salah satu harus dikorbankan. Kamulah yang harus memutuskan. Saya mencoba menawarkan kesempatan ini, silakan dipertimbangkan.

Saya tertegun. Sebuah kesempatan menjadi wartawan dan ditempatkan di daerah luar pulau yang belum pernah saya datangi. Kesempatan kerja! Tentu saja, tidak ragu lagi saya menerima. Pertimbangan saya, sekian semester saya mempejalari jurnalistik di kampus, dan kini ada tawaran bekerja, mengapa tidak?

Belajar dan belajar terus, apa gunanya jika tidak ada aplikasinya. Memang selama mahasiswa, saya sudah menulis secara freelance di beberapa surat kabar. Tetapi saya belum merasa puas. Maka, meskipun sebenarnya skripsi ini sedang "hangat-hangaynya" penyusunannya, saya tidak ragu untuk meninggalkannya.

Prinsip saya, kesempatan jarang datang dua kali. Jika saya lebih memilih skripsi, saya akan lulus tanpa pengalaman. Sebaliknya, meski pun kuliah saya selesai dalam jangka waktu agak lama, tetapi saya sudah punya pengalaman. Tanpa ragu, saya menerima tawaran itu.

Pak Dekan lalu memberikan alamat kontak orang yang membutuhkan saya. "Kamu sertakan contoh tulisanmu yang pernah dipublikasikan di koran," tambahnya. Dan semua anjurannya saya ikuti. Besoknya, saya temui "seseorang" yang punya "gawe" ini. Wah, sudah ada beberapa rekan lain yang juga rupanya ikut serta.

Mereka ditanyai macam-macam, dan sepertinya "calon bos" ini orangnya keras! Waduh. Nah, giliran saya yang ditanya, aneh, tak ada sesuatu yang terlalu prinsip. Pak Bos tampak memegang beberapa kopian tulisan saya dan mengatakan: "Kalau anda, saya sudah tahu kemampuannya." Hanya itu. Sementara yang lain masih dicecar pertanyaan.

Saya malah khawatir sendiri. Mengapa? Saya belum merasa hebat dengan beberapa tulisan yang tak seberapa itu. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Ah, saya sudah memutuskan untuk bergabung!

Masa trainning di Jakarta saya jalani dengan penuh semangat. Kerikil-kerikil tentu saja selalu ada, dan kadang membuat langkah ini terseok-seok. Tetapi saya berpikir, ada yang telah dikorbankan untuk semua ini, sehingga saya harus maju terus.

Dan...memang akhirnya saya menjadi wartawan sebuah tabloid politik dan lingkungan. Suka duka selalu menjadi irama. Putus asa selalu mewarnai. Segala macam, bercampur aduk. Saya tetap bersyukur, saya telah mendapatkan "sekolah realita" yang menjadi penyeimbang. Saya sudah punya pengalaman, meski singkat.

Kontak kerja selesai, saya kembali ke kampus, menyelesaikan skripsi, dan akhirnya lulus. Enam tahun tujuh bulan lamanya saya kuliah! (Anda yang pinter tentu gak akan selama itu kuliah, kan?)

Setelah lulus, seolah semua beban selesai. Tenyata tidak! Ini justru awal "keputusan" dan "pilihan" berikutnya. Dan dua hal ini selalu dan selalu akan ada, ada dijumpai dan dihadapi dalah kehidupan. Harus selalu ada "sebuah keputusan", bahkan di antara pilihan-pilihan buruk sekalipun. Pilihan selalu bertebaran di mana-mana. Dan keputusan harus dibuat: tepatnya, "sebuah keputusan".

Pontianak, 23 Januari 2008
SEVERIANUS ENDI

* Foto ilustrasi adalah koleksi pribadi




0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Sebuah Keputusan, Sebuah Pengorbanan: Secuil Kisah Hidupku