writing, sharing, expressing

Pak Tua Penyapu Jembatan dan Refleksi Hidup

Dalam beratnya beban dan pikiran yang selalu menggelayut di otak, aku menyusuri jalan tanpa arah yang pasti. Jalan ini, dan jembatan ini, masih sama seperti waktu-waktu yang lalu. Hanya saja, saat mataku menangkap sebuah sosok, seolah beberapa detik kehidupan ini sempat terhenti; aku merenungkan sesuatu di sela tarikan gas sepeda motorku.

Ya, di jembatan kota ini, jembatan yang saban hari menerima beban berat kendaraan yang menggilasnya, serta debu dan sampah yang mengorinya. Sesosok Pak Tua dengan topi, kumis yang memutih, baju lengan panjang yang kusut dan sepatu boot, menyapu badan jembatan, menyingkirkan pasir dan sampah. Sementara dia bekerja, kendaraan lalu lalang seolah meniadakan dirinya. Siapa yang masih peduli dengan rutinitas yang sangat biasa seperti ini?

Aku hanya berpikir, dan merenung. Dalam beratnya beban dan pikiran yang aku alami, rupanya aku masih selalu dan selalu diberi ruang dan waktu untuk berpikir ulang tentang kehidupan. Sosok Pak Tua tukang sapu di jembatan itu memang bukan kali ini tertangkap oleh pandanganku. Saking biasa dan rutinnya, ia seolah tenggelam dibalik keramaian lalu lalang kendaraan.

Tetapi, kali ini, aku merenung, sambil terus menarik gas sepeda motorku dengan tujuan yang tak kuketahui kemana. Aku hanya mengingat Pak Tua. Ya, siang bahkan malam, terkadang sosoknya selalu ada di jembatan itu. Ia menyapu, memungut sesuatu, lalu mengumpulkannya di keranjang rotan.

Kadang terlihat olehku, ia membenahi lidi-lidi sapu yang terlepas dari tangkainya! Aku sempat tersedak mengingat itu, demi membayangkan sekelilingnya, orang-orang lalu lalang dengan sangat rutin dan biasa. Pak Tua selalu menyapu dan menyapu di pinggir badan jembatan, tanpa khawatir terserempet atau malah tertabrak.

Ia, sepertinya, sudah sangat biasa dengan kondisi ini. Begitu juga pengendara yang lewat, mungkin sudah tak terlalu peduli, meski hanya menyediakan sedikit tempat agar tak sampai menyerempet.

Jembatan itu tidaklah selalu lengang. Terutama saat jam berangkat kerja di pagi hari, atau jam pulang kerja di sore hari, jembatan seolah tersumbat. Kendaraan hanya bisa merayap perlahan, tak jarang sebuah trailer besar malah macet di tengah-tengah. Pak Tua tampak tetap tekun dengan pekerjaannya. Pada suatu malam minggu, aku malah pernah terjebak selama 1 jam di jembatan itu!

Mengapa ia tampak begitu tekun dan setia dengan pekerjaannya? Dalam usia yang terbilang sudah sangat tidak muda lagi? Seperti apa kehidupan rumah tangganya? Berapa penghasilan yang dia dapatkan? Tapi aku masih terbayang dengan raut wajahnya yang tampak bersahaja. Dalam kesibukan lalu lalang jalan raya, dia tetap bekerja dengan penuh perhatian.

Diam-diam, aku merasa malu dengan diri sendiri. Aku yang muda dengan segala dinamika dan "perkakas kehidupan" yang mungkin agak lebih, malah tenggelam dalam "kenestapaan". Larut dalam kegagalan demi kegagalan.

Remuk dalam asa yang semakin memupus... Mengapa? Merenungkan Pak Tua, seperti menampar wajahku dengan telak!

Pontianak, 25 Januari 2008
SEVERIANUS ENDI




0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Pak Tua Penyapu Jembatan dan Refleksi Hidup