writing, sharing, expressing

Transaksi dengan Rupiah di Negeri Jiran

Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong by S. Endi
Note: Versi yang sudah diedit dari naskah ini telah dimuat di Harian The Jakarta Post edisi Rabu, 29 Februari 2012, bisa dibaca di link ini

JARUM jam baru menunjuk pukul 04.10 WIB, Minggu (5/2/12), tapi banyak bus kapasitas besar dan beberapa mobil antre di ruas Jl Malindo itu. Warga setempat menyebut area itu sebagai "batas", karena letaknya di border Entikong, Kabupaten Sanggau, areal yang memisahkan antara Kalimantan Kalimantan Barat dengan Sawarak, Malaysia.

"Jam-jam segini memang ramai, Bang. Mereka antre untuk masuk ke Sarawak karena gate baru dibuka jam 5 subuh," ujar seorang warga yang sedang minum kopi di sebuah kedai.

Kedai nasi dan kopi itu milik Adi, 37 tahun, warga Kabupaten Sambas. Dua tahun belakangan dia membuka kedai di tempat itu. Transaksi dilayani baik dengan mata uang rupiah maupun ringgit Malaysia (RM).

Antrean bus dan mobil sampai ke depan kedai milik Adi, yang hanya berjarak sepelamparan batu dari border. Kawasan itu disebut Pasar Baru, atau oleh warga Malaysia disebut Bandar Mutiara. Ada pemeriksaan pasport bagi warga yang hendak menyeberang ke Malaysia, di Pos Lintas Batas itu.

“Pekan ini agak sepi. Mungkin karena ada festival Cap Go Meh di Kota Singkawang dan juga di Sarawak. Juga akhir-akhir ini banyak razia mobil, mungkin para pelancong tidak berani melintas,” ujar Adi, pemilik kedai.

Dia mengatakan, transaksi dengan ringgit lebih mendominasi di kedainya. Dalam sehari, dia sanggup melayani transaksi ringgit maksimal RM 200 atau sekitar Rp 600 ribu dengan kurs Rp 3.000 per RM 1. Dalam satu bulan, rata-rata transaksi dengan ringgir berkisar RM 1.000 hingga RM 2.000 atau Rp 3 juta hingga Rp 6 juta.

Warga yang berbelanja di kedainya kebanyakan pelancong Malaysia yang hendak masuk ke Kalimantan Barat atau arus sebaliknya. Jika mereka membayar dengan rupiah, berarti mereka berada 2 hingga 3 hari di Kalbar dan masih memiliki stok rupiah.

Biasanya warga Malaysia yang melancong ke Kalbar menukarkan ringgit ke rupiah dalam jumlah banyak di money changer yang hanya berjarak beberapa langkah dari kedai Adi. Jika yang ditukar sedikit, Adi masih bisa melayani sendiri di kedainya.

Razia mobil dilakukan oleh petugas terhadap mobil-mobil mencurigakan dari Kalimantan Barat menuju Sarawak. Petugas sering memeriksa mobil yang lewat, menanyakan identitas penumpannya. Jika penumpang tidak bisa menunjukkan identitas dan mereka di bawah umur, dikhawatirkan indikasi trafficking.

Perjalanan dengan bus dari Kota Pontianak menuju Entikong memakan waktu sekitar 6 hingga 7 jam. Pilihan bus rata-rata berangkat dari Pontianak pukul 21.00 WIB, mengukur waktu pembukaan gate pukul 05.00.

Harga tiket bervariasi, umumnya Rp 165 ribu untuk tujuan Kuching. Tapi jika hendak turun di Entikong pun, penumpang harus membayar penuh tarif itu. Mobil-mobil berplat Malaysia banyak ditemukan di sekitar itu.

Seorang pelayan di Hotel Bintang Kiki di Dusun Sontas, yang berjarak sekitar 4 kilometer sebelum Border Entikong, mengatakan, jika tidak membawa kendaraan sendiri atau menumpang bus tujuan Kuching, perjalanan ke Sawarak bisa dilanjutkan dengan menumpang ‘ben’, sebutan untuk kendaraan semacam angkot.

“Orang kita yang ingin berbelanja lebih senang ke Serian karena kotanya lebih besar daripada Tebedu,” ujar gadis itu.  

"Tapi jam 5 sore gate sudah ditutup. Kalau telat, ya harus bermalam di sana. Gate baru dibuka subuh jam 5," lanjutnya.

Tebedu, Serian, dan Kuching merupakan kota di Sarawak yang menjadi tujuan favorit warga Kalimantan Barat. Cukup menempuh perjalanan 10-15 menit menyusuri jalan yang rapi dan mulus, dikelilingi pemandangan hutan dan padang rumput yang rapi, sampailah di Tebedu.

Tebedu merupakan kota penghubung dengan beberapa aktivitas bisnis seperti swalayan dan restoran. Transaksi masih bisa dilakukan dengan rupiah. Karena letaknya yang relatif dekat, Tebedu kerap dijadikan tujuan pelancong dari Kalimantan Barat untuk sekadar berbelanja atau makan siang!

Minggu siang itu, sekelompok pelancong dari Kota Pontianak tampak berpose di depan sebuah restoran di Tebedu. Yaser Ace (37) mengatakan, mereka berada di Tebedu hanya untuk sekitar 3-4 jam.

“Sesekali berakhir pekan ke negeri tetangga, meski hanya untuk makan siang dan sedikit berbelanja barang yang tidak ada di Pontianak,” ujar Yaser sambil tersenyum.

Menurut Yaser, dia bersama teman-teman menikmati akhir pekan dengan jalan-jalan ke Entikong sekaligus menggelar satu kegiatan kecil. Ada sedikit waktu yang memungkinkan mereka “menyeberang” ke Malaysia dan kembali lagi untuk melanjutkan kegiatan.

Menu yang saya pilih nasi goreng sea food. Ternyata yang memasaknya orang Jawa. Harga per porsi Rp 60 ribu. Serasa tidak di luar negeri,” gurau Yaser.

Setelah mengunjungi satu swalayan di Tebedu pun, ternyata tak ada barang yang benar-benar asing. Sebab banyak produk khas Malaysia bisa dengan mudah dijumpai di Kota Pontianak seperti sejumlah jenis makanan ringan, susu, makanan kaleng, dan aneka minuman kemasan.

Jarak antara Tebedu dengan Border Entikong hanya 4 kilometer, setelah sebelumnya melewati kampung pertama di Sarawak, yakni Entubuh. Tarif naik ben menuju Tebedu hanya RM 2.

Jika hendak naik ben ke kota yang lebih besar bernama Serian, tarifnya RM 7 dan lamanya perjalanan sekitar 30-an menit. Sementara untuk menuju Kuching dari Entikong, jaraknya sekitar sekitar 90 kilometer dengan tarif naik ben RM 15.

Seorang petugas Indonesia di Border Entikong mewanti-wanti, kalau hanya balik hari Entikong-Kuching, harus berpacu dengan waktu. Kalau telat sedikit saja, gate sudah ditutup dan tidak bisa lewat.

Terpaksa harus mencari penginapan, kembali ke Serian atau keKhucing lagi," ujar petugas itu.

Bagaimana jika ingin membawa mobil sendiri? Petugas itu menjelaskan, perlu mengurus road tax ke Dinas Perhubungan setempat maupun ke Dishub-nya Malaysia yang bernama Jawatan Pengawas Jalan Raya (JPJ) yang sering dilafalkan Jipiji.

"Ijin jalan untuk mobil bisa berlaku periode satu bulan atau tiga bulan. Ada dua stiker yang ditempel di mobil, satu dari Dishub kita dan satunya dari PRJ," jelasnya. Untuk mendapatkan izin jalan, pemilik mobil harus membayar road tax di Dishub setempat sebesar Rp 90 ribu, dan di JPJ RM 70, berlaku untuk satu bulan.

Berdomisili di kawasan yang dekat dengan perbatasan negara, menjadikan passport bukan barang aneh bagi sebagian warga. Areifhany Ransha, 21, tahun, mahasiswa di Pontianak yang berasal dari Desa Pengadang , Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, mengatakan, bukan hal asing bagi warga perbatasan memiliki paspor.

“Kami sekeluarga, kecuali adik yang paling kecil, semua memiliki pasport. Kadang kami berlibur mengunjungi paman yang menikah dengan orang Malaysia dan tinggal di Kuching,” ujar Areifhany.

Kesempatan itu juga dimanfaatkan untuk berpelesiran di Kuching sambil berbelanja beberapa barang yang tidak dijumpai di kampung mereka.

Di kampung kami hal biasa punya pasport, nenek-nenek yang sudah sepuh pun punya. Mereka menggunakannya untuk berbisnis, jual sayur, pokoknya barang-barang kebutuhan hidup," tuturnya.

Setelah jual sayur di sana, uang itu dibelikan barang untuk dijual di kampung. Ringkat atau tempat makanan dari plastik, susu, rokok, yang produksi Malaysia. Dari segi harga lebih murah tapi kualitasnya bagus.

Juwin, 50, warga Dusun Sontas, pada masa mudanya pernah bekerja di Malaysia. Dia mengenang, bekerja di sana sangat nyaman karena semuanya serba teratur dan rapid an menerima upah dua pekan sekali.

“Tapi bagi saya, tetap enak menjadi orang Indonesia. Di kampung halaman sendiri rasanya lebih tenteram,” ujar Juwin yang sekarang berkebun karet unggul.

"Di Sarawak cukup mudah mencari pekerjaan, asal kita mau. Mereka sangat perlu karena tenaga yang ada di sana sangat kurang,” lanjut pria Dayak Bidayuh yang masih serumpun dengan sebagian warga Sarawak ini.

Nahad, 38 tahun, warga Sontas lainnya, mengaku sering bolak-balik ke Kuching untuk melancong. Tapi tidak pernah terbersit dalam benaknya untuk bekerja di negeri Jiran tersebut, meskipun beberapa temannya pernah mengajaknya.

Melancong ke Sarawak, menurut dia, serasa tidak ke luar negeri. Di sanapun berjumpa dengan kerabat sesama warga Dayak Bidayuh dengan bahasa daerah yang sama.

“Kami hanya dipisahkan oleh batas negara meski sebenarnya masih satu rumpun sebagai sub etnik Dayak Bidayuh,” kata Nahad


SEVERIANUS ENDI

Naskah yang dimuat di The Jakarta Post:

Archipelago

Dual currency operates in border areas


Severianus Endi, The Jakarta Post, Pontianak | Wed, 02/29/2012 9:54 AM


It was still only 4:10 a.m. on a Sunday in early February but a long line of buses and cars had already formed at Jl. Malindo near the Entikong border crossing in Sanggau regency, which separates Indonesia’s West Kalimantan from Sarawak, East Malaysia.

“It’s busy at this time. They are lining up to enter Sarawak because the gate doesn’t open till 5 a.m.,” said a man having coffee in a nearby eatery.

The eatery is owned by Adi, 37, of Sambas regency, West Kalimantan. He has been running it for the past two years and transactions are carried out in both countries’ currencies — the Indonesian rupiah (Rp) and Malaysian ringgit (RM).

Adi’s eatery is located a stone’s throw from the border. The area is called Pasar Baru, or Bandar Mutiara by Malaysian visitors. There is a passport checkpoint for residents who wish to cross over to Malaysia.

Adi said that in general he carried out transactions in both rupiah and ringgit. In a day, he said transactions could reach up to RM 200, or around Rp 600,000, with an exchange rate of RM 1 to about Rp 3,000.

His customers are mostly Malaysian tourists who have traveled to West Kalimantan. If they pay in rupiah, it indicates they have stayed in West Kalimantan for a day or two and still have a little rupiah left over.

Usually, Malaysian citizens traveling to West Kalimantan change large amounts of ringgit into rupiah at the money changer located a few doors down from Adi’s eatery. However, Adi can also manage a small amount of currency exchange.

A waitress at the Bintang Kiki Hotel in Sontas hamlet, around 4 km before the Entikong border, said that those who do not travel by car or bus could take a public minivan to Sarawak.

“Indonesians prefer to shop for groceries in Serian, which is larger than Tebedu,” she said.

Tebedu is a bustling transit town where business can still be conducted in rupiah as it is relatively near the border. Tebedu is often visited by visitors from West Kalimantan to shop or just have lunch.

The distance between Tebedu and the Entikong border is only 4 km and costs RM 2 by public van.

“But the border gate closes at 5 p.m. If you are late, you have to stay for the night and wait for the gate to re-open at 5 a.m.,” said the waitress, who preferred not to be named.

Tebedu, Serian and Kuching, in Sarawak are favorite destinations visited by West Kalimantan residents. Tebedu is only 15 minutes’ drive along a well-maintained road lined by forest and meadows.

The fare to Serian, which is 30 minutes away, is RM 7, while the fare from Entikong to Kuching, a distance of around 90 kilometers, is RM 15 by public minivan.

A bus journey from Pontianak to Entikong takes up to seven hours. Buses generally leave Pontianak at 9 p.m. and arrive at the border gate before 5 a.m.

The bus fare from Pontianak to Kuching costs Rp 165,000 (about US$18), but it costs the same to stop in Entikong, where many cars with Malaysian license plates can be noticed.

Those who wish to travel to Sarawak in their own cars must pay road tax at the local transportation office and apply for a permit from Jawatan Pengawas Jalanraya (JPJ), the Malaysian transportation office.

A car permit is valid for a month. There are two stickers attached to the car, one from the local transportation office and the other from JPJ. Motorists must pay Rp 90,000 to the local transportation office and RM 70 to JPJ for the car permit.

Malaysian police officers usually conduct traffic surveillance on suspicious cars traveling from West Kalimantan to Sarawak. They often inspect cars to check the identities of passengers.

Residing in areas close to the border means carrying a passport is commonplace. Areifhany Ransha, 21, a university student in Pontianak who hails from Pengadang village, Sekayam district, Sanggau regency, said it was usual for a border resident to own a passport.

“Everyone in our family, except our youngest sibling, has a passport. At times we visit our uncle who is married to a Malaysian and lives in Kuching,” said Areifhany.

A resident of Sontas hamlet, Juwin, 50, said he had worked in Malaysia when he was young. He recalled that working there was very pleasant because everything was well organized and he received his salary once a fortnight.

“But for me, it’s still nice to be an Indonesian. It’s more peaceful living in our own home village,” said Juwin, who owns a rubber farm now.

“It’s easy to find a job in Sarawak, if you want to. They are in dire need of workers due to limited manpower there,” said Juwin, who is from the Dayak Bidayuh tribe which is related to a similar tribe in Sarawak.



0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Transaksi dengan Rupiah di Negeri Jiran