writing, sharing, expressing

Nan dari Hong Kong

Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku, Rabu (14/10) malam pukul 20.18.16 WIB. Namanya juga pesan singkat, ya isinya pun singkat. "Bisakah ketemu besok siang? Nan dari hongkong."

Aku sedikit tersenyum, membaca kalimat yang terakhir. "Nan dari Hongkong". Maklum, sudah karib suatu "prokem" di kalangan kita, menambahkan candaan dengan frasa 'Hongkong'.

Keterangan Foto: Siluet suasana saat aku berdiskusi dengan Dr Nan, Kamis (15/10) di cofee shop Hotel Kini, Kota Pontianak. Andrew Yuen menjepret momen ini, yang karena back-light lalu mengubah nuansanya menjadi siluet. 

Kalau kebetulan nonton infotainment, kadang para artis terlihat menggunakan frasa itu: 'duit dari hongkong?'. Sulit mencari padanan untuk terjemahan bebasnya. Sulit, dan tak perlu.

Aku tidak terkejut dengan pesan singkat itu. Malam itu, saat aku kembali ke kantor, seseorang memberitahukan, ada "doktor dari Hongkong ingin bertemu". Nomor telepon genggamnya pun sudah diberikan padaku dan kusimpan di phonebook.

Aku belum mengenalnya. Info yang kuperoleh hanya dari sebuah kartu nama. Bertuliskan Dr CHOI Nankyung, peneliti Southeast Asia Research Centre (SEARC), dari City University of Hong Kong.

Siang itu, aku masih "melanglang buana" menyusuri sudut kota. Jadi, pas tamu itu datang, aku lagi tak di kantor. Informasi singkat yang kudapat, dia perlu wawancara terkait penelitiannya. Entah tentang apa, yang jelas aku yang disodorkan jadi responden. Walah!

"Kau kan udah lama liputan di desk kota, jadi paham masalah politik dan pemerintahan Kalbar. Jadi kau saja ya," kata "oknum" berkumis tebal melintang di kantorku.

Pesan singkat itu aku balas dengan apa adanya: "Baik pak nan, besok aku informasikan kembali. Tks." Dia pun menjawab: "Baik. Saya tunggu. Terima kasih." Dan aku pun melanjutkan rutinitasku di meja komputer, menuntaskan berbagai tugas.

Dalam benakku, doktor dari Hong Kong ini pastilah seorang pria yang sudah cukup berumur. Barangkali, kesan itu terpancar dari namanya. Sewaktu kuliah di Yogyakarta, aku pernah bertetanggaan dengan seorang doktor sastra dari Jepang.

Namanya Dr Itoh Koji, seorang pria berumuran sekitar 50-an tahun, berpostur kurus. Entah mengapa, personifikasi Dr Itoh Koji itu lantas terhubungkan dengan doktor dari Hong Kong itu. Aku lalu membayangkan, Dr Nan adalah seorang pria yang sudah cukup berumur.

Besoknya, usai melakukan sebagian pekerjaan rutinku, aku kirim pesan singkat. Waktu menjelang pukul 12.00, aku kira sebaiknya rehat sambil berdiskusi dengan beliau. "Mat siang pak, saya punya waktu sekitar pukul 12.00. Di mana saya bisa menjumpai bapak? Tks."

Pendek kata, disepakati bertemu di sebuah cofee shop di hotel tempat dia menginap. Seorang rekan, Andrew Yuen, yang juga pengurus sebuah organisasi sayap partai besar, rupa-rupanya menjadi penghubung Dr Nan dengan para nara sumbernya.

Setelah memacu sepeda motor bututku, tibalah di cofee shop itu. Kulihat, Yuen sedang duduk bersama seorang wanita. Di mana kah Dr Nang, bathinku. Aku pun menghampiri keduanya, dan menyalami mereka.

"Saya Nan, terima kasih sudah datang," ujar wanita itu.

Hah? Jadi Dr Nan ini seorang wanita? Wajahku memerah, dan segera aku minta maaf.

"Maaf, dalam pesan singkat, saya selalu menyebut Pak," ujarku.

"Ah, tidak apa. Memang sering orang kira saya laki-laki, mungkin nama saya agak aneh di sini," ujar Nan.

Aku berusaha mengalihkan rasa malu itu, dengan berbagai basa basi. Cerita ke sana kemari, sekadar mengakrabkan. Sampai akhirnya masuk pada semacam interview. Kulihat, Dr Nan menyalakan alat perekam. Sesekali, ia membuka catatan dalam buku agendanya.

Diskusi itu seputar kesan masyarakat terhadap elit Kalbar seperti pejabat pemerintah, politisi, tokoh masyarakat. Entahlah, apakah informasi dariku cukup membantu Dr Nan. Pertanyaan yang ditujukan padaku, kadang justru didominasi Yuen untuk menanggapinya. Mungkin hampir dua jam, diskusi berjalan.

Dr Nan seorang yang menarik. Dalam usianya yang 37 tahun, ia belum tampil layaknya seorang "ibu-ibu". Busananya masih berjiwa muda, mengenakan celana panjang jeans, dan sandal ikat. Seluruh jari kakinya dipolesi dengan kutek warna merah.

"Saya pernah di Jogja, pada 1997-2002," tutur Nan.

Pada tahun yang sama, aku juga berada di sana untuk kuliah di Atma Jaya Yogyakarta. Nan kuliah S-2 antropologi di UGM. Sedangkan doktornya diperoleh dari Australia jurusan politik.

Aku tergelitik untuk bertanya soal tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong. Nan mengatakan, saat ini sekitar 300 ribu TKW bekerja di Hong Kong. Angka ini melampaui jumlah TKW asal Philipina, yang sebelumnya mendominasi.

"Sekarang, dominasi TKW Philipina telah tergeser oleh TKW Indonesia. TKW Philipina disukai karena pemahaman bahasa mereka lebih baik. Tapi ternyata baru-baru ini, TKW Indonesia dilatih selama 6 bulan untuk bahasa Kantonis (bahasa pergaulan di Hong Kong). Jadi kemampuan mereka sudah lebih bagus," katanya.

Lagipula, TKW dari Indonesia yang rata-rata berusia 20-25 tahun, menurut Nan, lebih mudah dikontrol, patuh, dan tidak neko-neko. Mereka juga bisa dibayar agak lebih murah ketimbang TKW dari Philipina.

"Satu bulan gaji TKW Indonesia sekitar 3.600 Dollar Hong Kong, setara sekitar Rp 4 juta rupiah. Sebenarnya agak di bawah ketentuan, tapi ya begitulah," ujarnya sembari tersenyum kecil.

Ia sendiri tidak menggunakan jasa TKW Indonesia. Untuk mengasuh anaknya, ia memakai jasa TKW Philipina, dengan alasan suaminya yang warga negara asing kesulitan dalam hal bahasa.

Dominan TKW di Hong Kong bekerja untuk sektor domestik. Seperti menjadi baby sister, berbelanja, mengantar anak sekolah, serta bersih-bersih rumah. Karena itu, jarang sekali ada tenaga kerja laki-laki dari Indonesia di sana. Hampir semuanya perempuan atau TKW.

"Tapi keluarga yang menggunakan jasa TKW hanya bagi yang sangat sibuk. Suami-istri bekerja, sehingga sering terjadi, TKW semacam ibu pertama, dan ibu asli justru seperti ibu kedua," lagi kata Nan sambil tertawa.

Satu hal yang sangat berkesan, Nan mengatakan, mereka tak pernah menyebut TKW itu sebagai pembantu. Katanya, mereka menyebut mereka sebagai "domestic helper". (*)




5 komentar:

  1. setahu saya gaji standar adalah HK$ 3580 kalau ada kelebihan dari itu adalah murni kebijakan antara majikan dan pembantunya. Dan ya benar, masih banyak dari TKW Indonesia yang di gaji di bawah standar.

    300 ribu TKW Ind di HK???? dapet info dari mana??? Jumlah TKW Ind sekarang baru mencapai 130 ribu, sedangkan yg dari Filipina 129 ribu.

    DOmestic Helper atau pembantu apa bedanya? Helper=pembantu juga khan? yang terpenting adalah memanusiakan manusia itu saja. maaf sepertinya sang Dr tadi perlu banyak menggali info...

    BalasHapus
  2. Thanks Mbak, atas komennya. Apapun itu, merupakan bentuk dinamika kehidupan, di antara belantara data dan persepsi. Data-data tersebut, seperti dalam tulisan saya, murni saya dapatkan dari dr nan. Kemudian soal sebutan, yah, di negara kita kan ada istilah eufimisme yg gandrung digunakan pejabat. Suatu sebutan untuk menghaluskan makna sebenarnya. Thanks mbak

    BalasHapus
  3. thanks juga...:D
    minta ijin menggunakan kata eufimisme dan "frasa hongkong"-nya untuk nulis ya...:D thanks..

    BalasHapus
  4. Hehe, jadi mengira sang profesor laki-laki, ternyata perempuan ya. Postingan menarik. Dari saoal politik pemerintahan di kalbar hingga masalah TKW. Salam kenal.

    BalasHapus
  5. @Newsoul: terima kasih kunjungannya, heheh itulah pengalaman konyol gua, lumayan tengsin juga tuh...

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Nan dari Hong Kong