writing, sharing, expressing

Purnawirawan, Kambing, dan Satpam

Tak banyak yang tahu tentang perjalanan hidup saya saat menjadi pejuang kemerdekaan. Apalagi saat ini saya hanya seorang satpam, menjadi rakyat biasa saja. Saya memang tak suka memamerkan diri.

Empat puluh enam tahun lalu, dalam kegelapan Laut Arafuru. Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Harimau bersama KRI Macan Kumbang dan KRI Macan Tutul, dihadang oleh kapal Belanda, Carel Doorman.

Nahas bagi KRI Macan Tutul. Kapal yang dikomandoi oleh Komodor Yos Sudarso itu dibombardir oleh Belanda. Komodor Yos Sudarso wafat, seiring tenggelamnya kapal itu ke dasar lautan. Sedangkan KRI Harimau dan Macan Kumbang selamat.
"Waktu itu tepatnya 15 Januari 1962, pukul delapan malam. Saya berada di KRI Harimau sebagai anak buah Pak Sudomo yang mengomandoi KRI Harimau,” kenang Sersan Mayor (Purn) H Sarbini, saat kujumpai di sela tugasnya sebagai satpan Pengadilan Negeri Pontianak, Senin (10/11).

Malam itu, ketiga kapal dalam perjalanan kembali dari Irian Barat. Mereka baru saja mendaratkan sejumlah perwira marinir di Tanah Papua, dan hendak kembali ke pangkalan di Ambon.

Sarbini (73), satu di antara prajurit marinir yang mengalami tragedi Arafuru itu, kini menjalani masa tuanya sebagai satpam Pengadilan Negeri Pontianak. Tua usia, segar ingatan, begitulah sosok Sarbini yang akrab disapa Pak De ini.

Kakek 14 cucu ini masih sangat hafal tentang detail kejadian di masa lalu. Ingatan tajam lainnya, tatkala berlayar dari Surabaya ke Pontianak pada 4 Desember 1970.

Sarbini berada di KRI Ular Sendok yang dikomandoi Kapten Yohanes Sutanto bersama Kepala Kamar Mesin Letnan Satu Wardojo. Mereka mengangkut alat-alat persiapan pemilu dengan kapal berkecepatan 24 mil per jam.

"Pelayaran sudah berjalan enam jam empat puluh lima menit, kapal Ular Sendok karam,” tutur lelaki kelahiran Magelang, 13 Januari 1940.

Pak De sudah sembilan tahun menjadi satpam Pengadilan Negeri, terhitung sejak 17 Juli 1999. Sebelumnya, ia menjadi satpam di Trakindo. Juga pernah enam tahun sebagai satpam di PLN, sejak 1993 sampai 1999.

Awalnya, Sarbini adalah prajurit angkatan laut (AL), yang hidup berpindah-pindah sesuai penugasan. Ia pernah tinggal di Surabaya, Jakarta, Banjarmasin, Medan, Pontianak dan masih sederet nama lagi.

Beberapa negara di Eropa pun pernah dia singgahi. Karena berpindah-pindah itulah, ia bertemu tulang rusuk’ di Batam. Seorang wanita blastaran Indonesia-Pakistan yang kemudian memberinya enam anak.

Selain keenam anak kandung, ia mengambil satu anak angkat, empat di antaranya laki-laki dan tiga perempuan. Ketiga anak lelakinya menjadi polisi, seorang sebagai wiraswasta, dan tiga anak perempuan menjadi guru.

Tamatan STM jurusan mesin ini mulai tinggal di Pontianak pada 1980. Memasuki masa pensiun pada 1989 dengan pangkat Sersan Mayor, ia beternak kambing.

"Sejak 1989 sampai 1998, saya pelihara kambing, dan itu cukup untuk membiayai sekolah anak dan kebutuhan keluarga,” ujar suami dari Hj Azrah Supiah (58).

Sebenarnya Sarbini tak tertarik bekerja sebagai satpam, karena menikmati aktivitas beternak kambing. Setelah didesak berkali-kali, bahkan kadang-kadang dicari-cari, ia pun mengalah.

Kambing-kambing dijual habis, dan ia menjalani hidup baru sebagai tenaga security.
Di Pengadilan Negeri itu, ia tak hanya sebagai satpam. Pak De sering diminta membacakan sumpah bagi para saksi atau terdakwa yang akan disidangkan. Bila sudah begitu, ia segera masuk ruang membawa Al Quran, menumpangkannya ke kepala saksi atau terdakwa.

Ia juga rutin membuka kunci ruangan, bila sidang menjelang. Di lain waktu, ia sibuk membawa berkas ke luar untuk difotokopi. (101108)



Related Posts

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Purnawirawan, Kambing, dan Satpam