Cerpen: Sv. Endi
PRIA itu lahap menyantap hidangan sea
food yang masih mengepulkan asap. Penuh selera, bagai berhari-hari belum
makan.
"Usai ini, kita ngobrol di kafe, ya," ujarnya tanpa melepas
pandangan dari hidangan yang begitu menggugah seleranya.
Ketika dia mengutarakan ajakannya untuk nanti ke kafe, dalam indera
perasaku segera terbayang segarnya jahe hangat. Setahun belakangan, aku telah
meninggalkan kopi. Tekadku untuk berhenti ngopi ternyata luar biasa gampang.
Beda dengan beberapa teman, yang setengah mati sulit berhenti minum kopi, meski
telah diniatkan.
Kebalikan bagiku, gampang berhenti ngopi, tapi susah sekali berhenti
merokok. Bram, pria di depanku ini, suka ngopi, meski tidak kecanduan. Dan dia
tidak merokok. Diam-diam, aku menemukan semangat baru untuk berjuang berhenti
merokok.
"Mengapa?" rupanya Bram memperhatikan aku yang tenggelam dalam
lamunan.
"Tidak, aku asyik menyaksikan kau begitu menikmati sea food itu," aku berbohong.
"Ah, kau malah tidak mau makan. Takut gendut?"
Hahaha, takut gendut? Mungkin iya. Tetapi, aku berdomisili di kota ini.
Kota Pontianak, atau sering orang sebut dalam dialek Mandarin: Khun Thien. Kota
yang menjadi surganya makanan enak. Jalan Gajah Mada selalu identik dengan asap
harum menggoda selera dari dapur-rapur rumah makan. Daging-daging matang
bergelantungan dalam rak kaca, sayuran segar yang sekan sudah meluncur di
tenggorokan, ahhh...
Makanan yang kini begitu menghipnotis selera Bram, bagiku tak lagi punya
greget. Dulu aku penyuka sea food.
Tiga tahun belakangan, aku memutuskan jadi vegetarian, dan aku selalu berusaha
masak sendiri.
"Ayolah, enak nih," godanya sambil menyeruput daging lunak
dari kaki kepiting. Telihat begitu menikmati dan dia makan seperti takut ada
orang lain yang menyaingi. Oh, beginikah tingkah orang yang begitu rindu akan
kuliner kampung halamannya, setelah bertahun-tahun tak pulang?
"Nanti aku mau beli kepiting segar dan ikan jelawat untuk kubawa
pulang ke Jakarta. Istriku pintar masak. Nanti kau kebagian fotonya saja ya,
hehe," Bram tertawa sambil pisau makannya mengiris daging cumi-cumi.
"Habis ini kau harus minum obat penurun kolesterol," selaku.
Sejenak, Bram menundukkan wajah, menatap perutnya yang agak buncit.
Mulutnya tetap komat-kamit mengunyah. Lalu menatap wajahku. Mengunyah sambil
tersenyum. Setelah itu, kembali asyik melanjutkan hidangannya. Ah, si gembul
yang gila kerja, juga gila makan.
Seperti orang keletihan usah berolahraga, Bram tersandar di kursi sambil
menyeruput teh hangat. Piring dan mangkuk kosong bergelimpangan di meja.
Seperti ladang pembantaian. Kami diam sejenak, tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Sementara Bram mengambil tusuk gigi dan kemudian asyik dengan
benda mungil itu sambil meringis-meringis, aku membuka beberapa pesan yang
muncul di gadgetku.
Beberapa janji bertemu, beberapa ajakan hang out, dan banyak pesan omong kosong entah
dari siapa. Kepada teman-teman yang kurasa harus kubalas pesannya, kukatanan
janji bertemu malam itu ditunda dulu. Aku sedang ada pertemuan penting, ya
betul, pertemuan penting dengan seseorang.
"Baiklah, kita pergi? Ke kafe mana?" lagi, suara Bram
mengingatkanku pada segarnya air jahe hangat membelai kerongkongan.
Rupanya agak gerimis di luar. Aku menyetir mobilku menembus gerimis itu,
menuju sebuah kafe kecil di sebuah sudut jalan, tidak jauh dari hotel tempat
Bram menginap. Kafe itu masih sepi, dan ini memang belum terlalu malam.
Bram memesan bir hitam, katanya untuk mengimbangi kolesterol yang tadi
dia santap seperti orang kesetanan. Aku, seperti biasa memesan jahe hangat.
Minuman yang diracik dengan jahe segar, bukan jahe bubuk, ditambah setangkai
serai wangi.
"Baiklah, supaya aku tidak mengantuk karena kekenyangan, kita
langsung ngrobrol," Bram membuka suara dan pandangannya sejenak memeriksa
gadgetnya.
"Aku sudah bosan di sini," ucapku.
"Bagaimana kau bisa bosan dengan kota yang penuh makanan
enak?"
"Ya, tapi jangan lupa, aku sudah vegetarian sekarang, dan aku
memasak sendiri makananku."
"O, lalu?"
"Aku ingin jadi orang baik-baik."
Bram tampak terperangah. Lalu pandangannya seakan menelusuri seluruh
wajahku. Lalu dia menatap kosong, mungkin memikirkan sesuatu. Kemudian
mengangguk-angguk.
Bram, seorang eksekutif di sebuah perusahaan makanan instan di Jakarta.
Karirnya kini sedang di puncak. Aku sudah kenal dia bertahun-tahun lewat. Dia
kakak kelasku semasa SMA. Dulu, sering dia bilang: "Prestasi kau bagus
sekali, sayang rasanya kalau kau hanya berdiam di kota ini. Ayo, merantaulah,
kalau perlu sampai ke luar negeri."
Selagi Bram diam-diam meneguk birnya, tiba-tiba muncul gugatan dalam
bathinku. Jangan-jangan, Bram mengira aku minta belaskasihannya? Tidak. Ini
bukan soal belakasihan. Ini tentang pandangan hidup.
"Bram, jangan sampai kau salah mengerti. Hidupku rasanya cukup
bagus di sini. Hanya saja, aku mau ganti suasana."
"Eh, mau pindah ke Jakarta, atau malah ke luar negeri?"
"Aku belum tahu. Pontianak masih menjadi kota kesayanganku. Teman-temanku
banyak di sini, meski keluargaku masih tetap di kampung sana."
"O."
"Pendapatmu gimana, Bram?"
"Kau bisa masuk ke perusahaanku, kalau mau, sih."
"Tidak."
"Mengapa?"
"Pasti aku akan selalu merasa berhutang budi, dan mungkin tak bisa
mandiri. Belum lagi kalau istrimu berpikir yang macam-macam."
"Ah..."
Aku mempertimbangkan, apakah beberapa teror melalui pesan singkat di
gadgetku harus kutunjukkan kepada Bram. Teror-teror yang setahun belakangan
menghantui tidurku. Membuatku tak jenak meletakkan tubuh di atas kasur. Tidur
seperti di ayunan. Sebentar-sebentar kaget. Terbangun. Sulit tidur kembali. Dan
sakit kepala biasanya menyusul hingga pagi.
Kafe itu mulai ramai. Beberapa anak alay sibuk ber-selfie ria. Kadang
mereka tertawa keras-keras, melengking. Kadang bercerita penuh semangat,
seperti hendak pamer seluruh kegiatannya. Layar televisi menayangkan gosip
selebritis, tetapi suaranya tenggelam oleh keriuhan yang mulai melingkupi kafe.
“Kau terganggu dengan mereka? Maksudku,
anak-anak alay ini?”
“Tidak, Bram. Aku sedang berpikir saja.”
“Aku punya apartemen kecil yang kosong.
Kau bisa segera ke Jakarta.”
“Aku akan menyewa sendiri, atau mungkin
beli sendiri nanti, Bram.”
“Maaf ini privasi. Tapi, apakah kau punya
masalah keuangan?”
“Sementara ini tidak. Aku tinggal di
rumah yang kubeli sendiri. Mobilku juga beli sendiri, meski kredit. Aku hanya
ingin hidup tenang, ingin jadi orang baik-baik.”
“Hmmm, menjadi orang baik-baik...” ucapan
Bram menggantung. Kubiarkan dia bermain dengan segala duganya. Dia menenggak
lagi birnya, dan menganggung-angguk.
Getir di perasaanku tak sanggup kuhalau.
Pendidikanku hanya diploma tiga jurusan sekretaris. Aku lulus kuliah di sebuah
Akademi Sekretaris di kota ini. Banyak pekerjaan telah kujalani. Tidak selalu
harus sesuai dengan latar pendidikanku. Tapi, untuk hijrah ke Jakarta,
rasa-rasanya ciut juga nyali ini. Semua tahu, persaingan macam apa yang terjadi
di ibu kota? Atau aku hijrah ke luar negeri, dengan pilihannya sebatas menjadi
TKI?
“Bertha!” suara Bram perlahan tapi tegas,
menyeruak dalam pikiranku yang terbenam dalam beribu kemungkinan. “Kau yang
kukenal adalah wanita tegar. Kau dulu aktif di pramuka. Aktif juga di kegiatan
rohani. Lalu, sekarang aku melihat kau sebagai wanita yang begitu mandiri.
Bagaimana kau bisa tiba-tiba layu begini? Ayolaaah, keep cemungudh!”
Aku tersenyum lebar mendengar kata yang
terakhir itu. Astaga, hampir satu jam di kafe ini, tiba-tiba barulah kurasa ada
sedikit rasa plong. Katarsis. Secuil beban terangkat. Beberap pengunjung kafe
yang mengenalku, menegur basa-basi. Wajah mereka melirik curiga kepada Bram.
Aku cuek.
“Nah, senyum begitu lebih baik, asal
tidak di depan istriku,” goda Bram.
“Jadi, kalau di hadapan istrimu, aku
harus pasang muka cemberut?”
“Hahaha.”
“Dan dia akan curiga begitu datang kawan
masa SMA, single lagi, dan menumpang di apartemenmu?”
Ponsel Bram berdering, tangkas dia
keluarkan dari saku bajunya. Layarnya ditunjukkan padaku, dan tampak tulisan “my lovely wife”. Aku maklum, dan Bram
menyingkir ke sudut menerima panggilan telepon itu.
Baru kusadari air jahe hangatku belum
kusentuh. Sudah dingin kini. Kuteguk perlahan, sambil pikiranku kembali
mengembara ke masa lalu. Dulu pada jam-jam begini, aku dan teman-temanku sesama
sales promotion girl akan keliling
dari satu kafe ke kafe lain. Menawarkan rokok. Parfum. Tentu harus dengan
sedikit godaan ringan agar pengunjung, setidaknya tertarik untuk mencoba produk
yang kami tawarkan.
Lalu sebuah keberuntungan mampir di
tengah kesibukanku berpromosi. Pembeli rokokku mengajak duduk sebentar dan
menanyai latar pendidikanku. Aku pun ditawari bekerja sebagai sekretaris di
perusahaan kelapa sawit, yang rupanya, orang itu menduduki jabatan manager.
Hanya setahun aku bertahan di perusahaan itu. Pekerjaannya tidak berat, upah
pun lumayan.
Hal yang membuat aku tak betah, hanya
karena dia, dan teman-temannya, melihat kehadiranku di kantor tengah hutan itu,
bagaikan “embun yang menetes di gurun pasir”. Itu bukan kalimatku. Mereka kerap
mengatakan itu, yang mungkin mereka dapatkan dari sebuah bacaan. Trik kuno
untuk merayu.
Aku memutuskan berhenti disertai tatapan
mereka, yang seperti kehilangan mainan. Upahku utuh, dan aku mengantongi beberapa
gepok uang yang mungkin tidak halal. Uang yang mereka hamburkan padaku, hanya
karena aku mau sejenak menemani mereka hingga terlelap sampai ngorok.
Kembali ke kota, kucoba merintis rejeki
dengan menjadi agen asuransi. Hasil yang lumayan, tetapi aku was-was beberapa
nasabah yang kebanyakan bapak-bapak kantoran, mau join hanya karena melihat fisikku. Ratusan pesan singkat masih
kusimpan di gadgetku. Isinya rayuan semua. Ajakan jalan-jalan ke luar negeri.
Bahkan ajakan untuk nikah siri.
Lalu ingatanku membayang kepada
keluargaku nun jauh di kampung. Ah, mereka tahunya, aku bekerja menjadi
sekretaris. Itu saja. Pikiran dan mental mereka tak akan siap, jika semua kisah
kehidupanku yang sebenarnya terpampang di wajah mereka. Aku harus menjaga martabat.
Aku kebanggaan mereka.
Bram telah kembali dari sudut ruangan.
Wajah gembulnya mengulas senyum. Duduk dan kembali meneneguk birnya.
“Insting seorang istri sangat tajam,
kan?” kataku.
Bram menghentikan tegukannya sebentar,
lalu melanjutkan tegukan terakhir. Diambilnya tissue dan dilapnya bibirnya. Dan
dia memesan bir lagi.
“Bram, mungkin kalau aku tak pergi, kau
tak lagi bisa minum bir di sini sambil kutemani.”
“Ha?”
Kutunjukkan sebuah pesan singkat di
gadgetku, yang isinya ancaman hendak membunuhku. Dari seorang ibu-ibu gendut
dengan gelang dan cincin emas berkilauan di jari. Istri seorang pejabat besar
di kota ini. Aku menyesali, mengapa aku mau saja ketika diminta suaminya,
menemaninya jalan-jalan ke Singapura bulan lalu. Dan entah bagaimana, dia
mendapatkan nomor ponselku dan menghujaniku dengan ancaman sehingga membuat
tidurku seakan di atas ayunan.
“Aku ingin mengubah hidupku. Kau telah
menjumpaiku sekarang. Dan kau tahu seperti apa hidupku.”
“Oke, besok kau terbang ke Jakarta.”
“Kau janji tak akan seperti bapak-bapak
itu?”
“Kuharap begitu.”
“Bukan jawaban tegas.”
“Baik, tapi kau jangan menggoda duluan.”
“Hahaha...”
Setiap lelaki mungkin sama. Bram, bisa
jadi bukan pengecualian. Meski kami adalah kenalan lama. Sejak SMA, dan dia
tahu persis dari mana aku berasal. Seperti batu akik, katanya suatu hari, yang
digali dari dasar lumpur. Mengkilap kemudian setelah digosok dan dipoles, dan
menambah indah etalase toko perhiasan.
Suatu umpama yang berlebihan, menurutku.
Tapi, kali ini, aku harus kabur ke ibu kota, dengan Bram yang mungkin bisa
diandalkan sebagai penunjuk arah untuk sementara. Aku tak mau mati konyol di
kotaku sendiri. (*)
Diterbitkan Pontianak Post Edisi Minggu, 21 Februari 2016
Mengalir segar, tanpa pretensi. Gurih, renyah, penuh bumbu. Menggugah selera...bikin lagi Gan
BalasHapussaya ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH BASKORO atas bantuannya selama ini dan saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sukses dan ini semua berkat bantuan MBAH BASKORO,selama ini, saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang2 dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya usaha Restoran sendiri,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH BASKORO atas bantuan nomor togel dan dana ghaibnya, dan saya yang dulunya pakum karna masalah faktor ekonomi dan kini kami sekeluarga sudah sangat serba berkecukupan dan tidak pernah lagi hutang sana sini,,bagi anda yang punya masalah keuangan jadi jangan ragu-ragu untuk menghubungi MBAH BASKORO karna beliau akan membantu semua masalah anda dan baru kali ini juga saya mendaptkan para normal yang sangat hebat dan benar-benar terbukti nyata,ini bukan hanya sekedar cerita atau rekayasa tapi inilah kisah nyata yang benar-benar nyata dari saya dan bagi anda yg ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH BASKORO di 085217344419 dan ingat kesempatan tidak akan datang untuk yang ke 2 kalinya terimah kasih..
HapusMengalir segar, tanpa pretensi. Gurih, renyah, penuh bumbu. Menggugah selera...bikin lagi Gan
BalasHapus