writing, sharing, expressing

Mereka Memilih Sekolah ke Negeri Tetangga

Mobil bersiap ‘berenang’ menyeberangi sungai. Foto: Endi 
Catatan: Tulisan ini dimuat dalam koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post, edisi 22 Februari 2012, bisa dibaca di link ini

PURING Kencana, kecamatan paling ujung di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, hanya 'sepelemparan batu' dari Malaysia Timur. Dari kecamatan dengan ibukota Sungai Antu ini, hanya dibutuhkan waktu sekira 1,5 jam berjalan kaki melintasi hutan dan bukit, untuk mencapai kota terdekat, Batu Lintang, Engkelili Distric, Sarawak.

"Sekitar 30 persen anak usia sekolah di kecamatan ini memilih bersekolah di Malaysia," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan Puring Kencana, Mansir, 16 Februari 2012.

Sebagai contoh, dipaparkan di Desa Kantuk Balau tercatat 15 murid Sekolah Dasar (SD), 8 di antaranya pindah sekolah ke Malaysia. Di Desa Kantuk Asam, dari 46 murid SD, lebih dari 20 murid memilih bersekolah ke sana. Mansir menuturkan, guru besar atau kepala sekolah di Malaysia Timur secara teratur melakukan sosialisasi rumah panjang di dusun-dusun perbatasan.

"Kalau guru besar datang, disambut melebihi kunjungan pejabat kita. Dia dikalungi bunga, diberi barang-barang antik. Kalau pejabat kita yang datang, mungkin dicuekin," ujar Mansir yang pernah mengenyam pendidikan SD dan SMP di Engkelili Distric, Sarawak.

Merah putih tetap berkibar di ujung negeri. Foto: Endi
Di Negeri Jiran, jika ada 3 anak dalam satu keluarga, semuanya diberi beasiswa dan satu di antaranya mendapat laptop satu unit. Mereka tinggal di asrama dengan fasilitas serba gratis, termasuk makan siang bagi orangtua yang berkunjung.

Umunya murid  dari Desa Sungai Antu bersekolah di wilayah Malaysia yang bernama Batu Lintang, murid dari Dusun Merakai Panjang, Kantuk Badau, dan Kantuk Asam, bersekolah di Kota Paku. Malaysia menerapkan sistem lima hari sekolah, sehingga setiap Jumat sore, anak-anak itu pulang kampong untuk bertemu keluarga dan diantar kembali ke sana Minggu sore.

Puring Kencana terdiri atas 6 desa dan 16 dusun. Ada 9 SDN dengan total murid hanya 245 orang, dan 1 SMPN dengan jumlah siswa 27 orang. Kecamatan ini memiliki luas 484,03 kilometer dengan penduduk 2.518 jiwa.

Kepala SMPN 1 Puring Kencana, Yoseph Sidi, mengatakan, tidak ada larangan bagi anak-anak ini menempuh pendidikan di manapun. Tapi untuk konteks Puring Kencana, permasalahannya buka sekadar siswa yang pindah sekolah ke luar negeri.  

Mereka sekaligus bisa mendapatkan identity card (IC) dan status kewarganegaraan Malaysia jika bersekolah di sana,” ujar Sidi.

Petugas bermotor trail menembus jalan berlumpur. Foto: Endi
Akibat banyaknya murid SD bersekolah ke Malaysia, kuota untuk siswa SMP tidak pernah tercukupi. Tahun ini, jumlah siswa kelas 3 hanya 7 orang dan tahun lalu tak ada siswa kelas 3 sama sekali.

“Masalah yang kami dihadapi, kadang guru pergi sampai berbulan-bulan. Bantuan alat-alat olahraga belum dipakai sudah rusak. Buku paket belum dipakai sudah ganti kurikulum. Kami sangat ketinggalan informasi,” ujar Sidi.

Camat Kecamatan Puring Kencana, Hermanus Jemayung, menilai, banyaknya fasilitas dan kemudahan yang diperoleh di Malaysia menjadi pendorong utama. Dia mengkhawatirkan aspek negatif terkait ideologi yang ditanamkan pada anak-anak ini.

“Tak semua anak yang sekolah di Malaysia terserap oleh kebutuhan tenaga kerja di sana. Ketika mereka kembali ke sini, membawa ideologi orang sana, akan jadi beban pembangunan kita. Bisa menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja,” kata Jemayung.

Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat Kecamatan Puring Kencana, Andreas Sadi, berusaha merangkum data terkait mobilitas warga ke Malaysia. Dia meminta setiap Kepala Desa dan Kepala Dusun melakukan pendataan tersebut.

“Ada 3 tujuan kepindahan warga ke Malaysia, yakni untuk berdomisili di sana, bekerja, bersekolah. Ada warga yang keberatan didata, sehingga data yang ada pada saya belum menggambarkan keseluruhannya,” ujar Sadi.

Kantor camar hampir roboh, harus ditopang kayu. Foto: Endi
Menurut data sementara yang dihimpunnya, sebanyak 36 dari 39 siswa SD pindah sekolah ke Malaysia dan 33 warga bekerja di sana. Ini jumlah terbanyak dibanding desa dan dusun lain, karena jaraknya hanya 15 kilometer dari Paku, Sarawak.

“Kami kesulitan mendapat data dari Desa Langau, yang hanya berjarak 5 kilometer dari Batu Lintang. Warga takut didata. Saya bilang, tidak usah takut, justru ini untuk kami sampaikan ke pemerintah supaya ada solusinya,” ujar Sadi.

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kapuas Hulu, Marcellus Basso, tidak menampik adanya informasi mengenai adanya warga yang pindah kewarganegaraan. Tetapi, menurut dia, datanya agak sulit dideteksi.

Jika mereka tinggal di Malaysia dalam waktu yang lama, biasanya diangkat menjadi menjadi anak oleh Tuai Rumah, semacam kepala adat, dan diberikan Surat Peranak yang sama dengan Akte Kelahiran.

Legalitas itu memungkinkan mereka memiliki IC dan menjadi warga negara Malaysia,” ujar Marcellus.

Hingga saat ini, penduduk Kabupaten Kapuas Hulu berjumlah 227.117 jiwa, sesuai terdaftar dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Kabupaten ini memiliki 23 kecamatan, dengan luas wilayah 29.842 kilometer persegi, atau setara luas Provinsi Jawa Barat dan Banten.

"Saya menerima informasi, warga kita yang bekerja di sana biasanya hanya aman saat siang hari. Malam hari mereka harus bersembuyi dalam pondok di hutan, menghindari razia. Saya melihat ada dua faktor pendorong. Pertama, mereka ke Malaysia benar-benar mencari pekerjaan untuk penghidupan. Kedua, khusus bagi kalangan muda, ada semacam prestise bisa bekerja di luar negeri ditambah kecenderungan sifat ingin merantau," papar Marcellus.

Dari ibukota provinsi Kalimantan Barat, Pontianak, jarak tempuh menuju Putussibau, ibu kota kabupaten Kapuas Hulu sekitar 814 kilometer. Untuk menjangkau Puring Kencana dari Putussibau, terbentang jalan sepanjang sekitar 259 kilometer. Sekitar 26 kilometer menuju Puring Kencana, kondisi jalan rusak parah. Ada tiga jembatan putus sehingga mobil harus ‘berenang’ menyeberangi sungai berbatu. 

SEVERIANUS ENDI

Versi bahasa Inggris yang dimuat di The Jakarta Post:

Headlines

On border, children prefer to study in Malaysia

Severianus Endi, The Jakarta Post, Kapuas Hulu | Wed, 02/22/2012 8:23 AM

Puring Kencana, located at the farthest end of Kapuas Hulu, West Kalimantan, is only a stone’s throw from East Malaysia. From the district capital of Sungai Antu, it is just a one-and-a-half hour walk through a forest and over a hill to the nearest town of Batu Lintang, Engkelili district, Sarawak, Malaysia.
 

“About 30 percent of the school-age children in the district prefer to attend school in Malaysia,” said Puring Kencana Education Office’s Technical Implementation Unit head, Mansir, late last week.

As an example, he said that eight of the 15 elementary school children in Kantik Balau village had moved to a school in Malaysia. In Kantuk Asam village, more than 20 pupils have also chosen to study in the neighboring country.

Mansir said the school principal in East Malaysia regularly carried out education campaigns at the houses in hamlets located along the border.

“When he arrives, he is greeted more cordially than our officials. Residents hang garlands around his neck and give him presents. If our officials visit the hamlets, they are likely to be ignored,” said Mansir, who graduated from elementary and junior high schools in Engkelili district, Sarawak.

In the neighboring country, if a family consists of three children, they will all be given scholarships and one of them a laptop. They stay in a dormitory with free facilities, including lunch for visiting parents.

Generally, pupils from Sungai Antu village attend school in Batu Lintang, Sarawak, while those from Merakai Panjang, Kantuk Badau and Kantuk Asam hamlets study in Paku city.

Malaysia has a five-day school system, so every Friday afternoon, the children return to their villages to see their families and return to school on Sunday afternoon.

Puring Kencana district, comprising six villages and 16 hamlets, has nine state elementary schools with a total of 245 pupils, and one state junior high school with 27 students. The district measures 484.03 square kilometers and has a population of 2,518.

SMPN 1 Puring Kencana state junior high school principal Yoseph Sidi said there was no restriction on children from the district attending schools abroad.

“They can obtain identity cards and Malaysian citizenship if they study there,” said Sidi.

Consequently, the quota for junior high school enrollments has never been met due to the huge number of students studying in Malaysia. This year, only seven third graders were enrolled and none enrolled last year.

“Among the problems that we face are damaged sports equipment despite it never being used, and sometimes teachers are gone for months. We haven’t used our textbook packages but the curriculum has changed. We are also very much left behind in information,” said Sidi.

Puring Kencana district head Hermanus Jemayung said the main stimulus was the countless facilities and conveniences offered in Malaysia.

He, however, expressed concern about the negative aspects, especially the ideology ingrained in the children.

“Not all the children studying in Malaysia will be absorbed into the workforce there. When they return home and bring the foreign ideology, it can be a burden to development,” said Jemayung.

Puring Kencana People’s Welfare division head Andreas Sadi said his office was summarizing data on residents’ mobility to Malaysia. He urged every village and hamlet head to collect data on the matter.

“There are three purposes for people to move to Malaysia — to reside, to work and to study. Some of the residents are unwilling to be registered, so the data available to me has yet to illustrate the whole picture,” said Sadi.

Based on preliminary data gathered, 36 of 39 elementary pupils have moved to schools in Malaysia and 33 residents worked there.

The figure is the highest compared to other villages and hamlets, because it is located only 15 kilometers from Paku, Sarawak.

The head of the population and civil registry office of the Kapuas Hulu regency, Marcellus Basso, said it was difficult to detect whether any of the villagers had changed their nationality.

If they live in Malaysia for a long time, they are usually adopted by Tuai Rumah, a local traditional leader, which makes them eligible to receive resident certificates.

“Such legality enables them to have an ID and become Malaysian citizens,” Marcellus said.

Kapuas Hulu regency has a population of 227,117, according to the Population Administration Information System.

The regency has 23 districts covering 29,842 square kilometers, roughly equalling the combined areas of West Java and Banten provinces.

“I have heard that working there is safe only during the day because during the night they have to hide in the forest to avoid raids,” Marcellus said.

From the provincial capital of Pontianak, the distance to the Kapuas Hulu regency capital, Putussibau, is 814 kilometers. The distance between Putussibau and Puring Kencana is 259 kilometers, of which 26 kilometers of road is in poor condition.





2 komentar:

  1. mantap bro..... nampaknya Indonesia mesti banyak berbenah untuk daerah perbatasan.

    BalasHapus
  2. terima kasih atas kunjungannya ke blogku, Bro Rommy. Dalam kondisi begini, kungkin peran putra asli daerah sangat dibutuhkan, minimal untuk menyuarakan kondisi ini supaya diketahui "orang atas". salam.

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Mereka Memilih Sekolah ke Negeri Tetangga