writing, sharing, expressing

Dialek Jiran di Pedalaman Kalimantan

Note: Versi yang sudah diedit dari tulisan saya ini dimuat di Harian The Jakarta Post dengan judul "Real lives from the border available on web blog" di link ini.

Blogger Sanggau Ledo sedang berpose. Foto: Endi
DUA gadis itu berbicara dalam dialek Malaysia. Padahal jelas-jelas mereka warga sebuah kampung di pedalaman Kalimantan Barat, yang letaknya dekat dengan perbatasan Negeri Jiran itu.

Realitas yang menggelitik karena begitu fasihnya mereka menggunakan dialek asing di tanah air sendiri. "...hati-hatilah di jalan, jangan sampai dilanggar lori," demikian bagian dialog dalam tulisan di blog itu.

Yunus, sang penulis, hampir tak bisa menahan tawa. Mana ada lori di jalan setapak? Lori dalam bahasa Malaysia adalah sejenis truk untuk mengangkut barang.

Yunus menjadi satu di antara peserta pelatihan Border Blogger Movement (BBM) selama dua hari, Sabtu (28/1/12) hingga Minggu (29/1/12) di Kota Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Pelatihan ini menandai debut perdana program BBM.

Yunus, yang baru belajar menulis dan membut blog, menayangkan cerita itu di laman pribadinya, http://anaksungkung.blogspot.com. Pemuda ini berasal dari Sungkung, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Bengkayang.

Warga yang berdomisili di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia yang terpilih untuk program ini, diberikan materi mengenai jurnalisme kampung, fotografi, pembuatan video sederhana, serta pemanfaatan media sosial seperti web blog. Muncul aneka kisah human interest yang menarik dari penuturan mereka.

Ada yang mengisahkan tentang suka duka warga pedalaman yang berjualan sayuran ke wilayah Malaysia melewati jalan setapak yang licin dan berjurang. Ada pula yang menceritakan, mata uang Ringgit lebih dikenal ketimbang mata uang Rupiah.

"Orang luar seringkali tidak tahu bagaimana kehidupan kami di daerah perbatasan. Lebih baik kami diberi pemahaman jurnalistik dan blog, supaya bisa berbicara tentang kehidupan yang kami alami sehari-hari," ujar A Ika Lestari, guru honorer yang bekerja di sebuah kampung pedalaman di Kacamatan Sanggau Ledo.

"Saya sering melihat siswa saya yang harus berenang menyeberangi sungai pada saat banjir. Betapa perjuangan mereka begitu berat untuk mendapatkan pendidikan. Belum lagi kesulitan hidup lainnya seperti layanan kesehatan," lanjut Ika yang mengaku senang dengan kesempatan ini.

Peserta lainnya, Udin, membandingkan kemiskinan di pulau Jawa dengan di wilayah perbatasan Kalbar-Malaysia. Menurut dia, hanya pemahaman yang utuh tentang kemiskinan yang bisa memunculkan kebijakan tepat sebagai solusi.

"Miskin di Jawa artinya orang tanpa rumah, tidak memiliki lahan pertanian, dan tanpa pekerjaan tetap. Di daerah kami, semiskin-miskinnya orang, masih punya rumah dan lahan pertanian. Tapi membutuhkan pemberdayaan sumber daya manusia," ujar Udin, yang juga guru honorer di kawasan dusun Paket, Kecamatan Tujuh Belas.

"Kami ingin orang luar mengetahui kisah kami langsung dari kami sendiri. Tinggal di pedalaman membutuhkan keterampilan tambahan supaya kami bisa bersuara dan didengarkan orang atas sana," sambung Okta Lapo, pria yang hanya lulusan SMA yang tinggal di Desa Pereges, Kecamatan Seluas.

Dalam pelatihan dua hari itu, para peserta diminta menuliskan pengalaman mereka, kemudian diajari cara memublikasikan tulisan itu di web blog. Mereka menunjukkan semangat dan ketertarikan tinggi, karena keterampilan ini betul-betul baru bagi mereka. Penyelenggara memberi dukungan dengan peminjaman modem serta pulsa gratis semala 5 bulan program ini berlangsung.

Berikutnya, mereka secara mandiri diwajibkan aktif melakukan updating blog mereka dengan kisah-kisah sederhana di sekeliling mereka. Dalam waktu lima bulan ke depan, pengguna internet bisa membaca dan melihat foto-foto menarik buah karya warga pedalaman ini.

Program BBM memang secara khusus diperuntukkan bagi warga yang berdomisili di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di provinsi Kalimantan Barat. Ada lima kabupatenyang mendapat sentuhan program ini. Setelah Bengkayang, bakal berlanjut ke Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sintang, dan Sambas.

Para pelatih berasal dari kalangan jurnalis dan blogger di Kalimantan Barat, yakni Budi Miank dan Bas Andreas dari Pontianak Post, serta Aries Munandar dari Media Indonesia. Manajer Program BBM, AA Mering, berpendapat, sudah saatnya isu-isu perbatasan disuarakan sendiri oleh warga yang sehari-hari mengalami kehidupan riil di batas negara.

Wilayah Malaysia, yakni Serikin, berbatasan langsung dengan Desa Jagoi Babang, setelah sebelumnya melewati Desa Seluas, Kabupaten Bengkayang. Akses transportasi berupa jalan darat, yang semakin ke ujung semakin rusak dan tidak memadai.

Mering mengatakan, enam peserta pelatihan dari Kabupaten Bengkayang, mungkin dinilai sebagai jumlah yang kecil. Namun dengan rangkaian kegiatan ini, jumlah kecil tersebut akan berkolaborasi dengan sejumlah peserta dari empat kabupaten lainnya.

Mereka sama-sama akan menyuarakan kisah-kisah warga perbatasan menjadi lebih kuat. Total 45 peserta menjadi target program ini di lima kabupaten perbatasan. (*)

SEVERIANUS ENDI
Naskah yang dimuat di The Jakarta Post: 

Wednesday, February 01, 2012 13:28 PM

Headlines

Real lives from the border available on web blog

Severianus Endi, The Jakarta Post, Sanggau Ledo | Wed, 02/01/2012 10:41 AM

Two Indonesian girls are speaking in the Malay dialect although they are obviously residents of a village in remote West Kalimantan, located near the border with Malaysia.

The intriguing reality is that they are fluent in the foreign dialect on their own home soil. Hati-hatilah di jalan, jangan sampai dilanggar lori (Be careful on the road, don’t get hit by a truck) says part of a story on a web-site blog. The word “lori” is not familiar in the Indonesian language.

Yunus, the blog’s writer, who could almost not stop laughing said, “How could there be a lorry on a path? Lori, in Malay, means truck.”

Yunus participated in a two-day, debut Border Blogger Movement (BBM) training on Jan. 28 and 29 in Sanggau Ledo city, Bengkayang regency, West Kalimantan.

Yunus, who recently started learning how to write for and create a blog, posted the story on his personal page http://anaksungkung.blogspot.com. The youngster hails from Sungkung, a village in the remote Bengkayang.

Residents living along the border between West Kalimantan and Malaysia, and who are invited to join a longer five-month program, are provided with training materials on village journalism, photography, simple video-making and utilizing social media, such as web blogs. They have posted several noteworthy human-interest stories.

Some tell of the ups and downs of inland residents selling vegetables in Malaysia by walking along slippery paths alongside sheer cliffs, while others talk about the Malaysian ringgit, which is better known than the rupiah.

“Outsiders often don’t know about our life in the border area. We’d rather be provided with knowledge about journalism and blog making, so we can tell others about the daily lives we lead,” said A. Ika Lestari, a temporary teacher in a remote village in Sanggau Ledo district.

“I often see my students having to swim across the river during floods. Imagine how they struggle to obtain an education; not to mention other hardships, like healthcare,” said Ika.

Another participant, Udin, compared poverty in Java to areas along the West Kalimantan–Malaysia border. He said only a complete understanding about poverty could produce appropriate policies and a solution.

“Poverty in Java means people without homes, agricultural land or a steady job. Here, the poorest people still own homes and farms, but they need capacity building,” said Udin, who is a temporary teacher in Paket hamlet, Tujuh Belas district.

“We want people to know our stories directly from us. Living in the countryside requires additional skills so that we can speak up and be heard by people over there,” said Okta Lapo, who only graduated from senior high school.

During the two-day training, participants were asked to write down their experiences, and were then trained on how to publicize their writings on the web blog. They were full of enthusiasm because the skills were new to them. The organizer provided support by lending modems and free Internet connections during the five-month program.

Later, they will be required to independently and actively update their blogs with simple stories. Within five months, Internet users will be able to read the interesting stories and look at the photos posted by the rural residents.

The BBM program is especially entitled to residents living in border areas between Indonesia and Malaysia in West Kalimantan. The program has reached five regencies: Bengkayang, Sanggau, Kapuas Hulu, Sintang and Sambas.




0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Dialek Jiran di Pedalaman Kalimantan