writing, sharing, expressing

Anak Kampung yang Selalu Merasa Kecil

* Kilas Balik 20 Tahun Silam di SMP Usaba 1

Oleh Severianus Endi, siswa SMP Usaba 1 era 1990-1993, kini bekerja sebagai wartawan Tribun Pontianak, koran daerah milik Kompas Gramedia. Tulisan ini menjadi bagian buku kenangan pesta emas (50 tahun) SMP Usaba 1 Ketapang.

MENGILAS balik ke masa silam, sekitar kurun waktu 20 tahun kebelakang dari sekarang, membutuhkan permenungan sendiri. Saat merenung itulah, tumpukan file-file di belantara kenangan masa lalu seakan terbuka satu per satu. Ada teks-teks kehidupan, juga gambar-gambar kenangan, seakan berhamburan dalam imajinasi, minta dibuka dan dilihat kembali.

Foto 1: Mewawancarai Duta Besar Vatikan Mgr Leopoldo Girelli, saat berkunjung ke Pendopo Gubernur Kalbar, 2009. Terima kasih pada rekan fotografer Kantor Berita Antara, Jessica Wuysang yang mengabadikan momen ini.

Ya, sekitar 20 tahun lalu, seorang bocah kurus berusia 12 tahun dari kampung nun di pedalaman, untuk pertamakalinya menapakkan kaki ke sebuah "kota" bernama Ketapang. Perjalanan itu, bukanlah perjalanan biasa. Dibutuhkan waktu dua malam suntuk menyusuri sungai untuk menjangkau muara lautan, kemudian singgah di sebuah kota kecil bernama Teluk Batang. Dari teluk batang harus disambung dengan pelayaran kapal cepat, juga semalam suntuk, untuk menjangkau Kota Ketapang.

Desa asal bocah itu sesungguhnya sebuah ibukota kecamatan. Letaknya sekitar 300 kilometer dari Kota Ketapang. Balai berkuak nama kampungnya, Simpang Hulu nama kecamatannya.

Bocah itu, kini sudah menjadi seorang pria berusia 30-an tahun, duduk merenung, mencoba menata kembali kisah-kisah lama itu, untuk dikemas dalam sebuah buku kenangan. Terasa mengasyikkan, karena ada semacam tamasya ke masa lalu, di balik kesibukan profesi sehari-hari yang sangat menyita waktu, bahkan terkadang sering menenggelamkan nuansa kenangan itu.

Apa sih yang bisa ditulis dan dibagikan, dari pengalaman orang biasa seperti saya? Dari seseorang yang pada awalnya selalu merasa diri "kecil", udik, terbelakang, tertinggal, dan dari keluarga yang tidak serba berada? Hahaha, ini nostalgia, karena setelah 20 tahun berselang, sindrom inferioritas itu rupanya belumlah lenyap seluruhnya.

Saya harus membuka file-file lama terkait pengalaman saya sekolah di SMP Usaba 1, kurun 1990-1993. Dokumen yang paling mudah saya raih yakni ijazah. Apaboleh buat, foto di lembaran berharga itu tak pelak membuat saya tergelak. Seorang bocah menggunakan dasi model X, rambut tebal berombak, dan kelihatan betul ekspresi wajah yang culun. Saya mencoba mengingat, trend rambut model apa yang kala itu sedang berkembang?

Ah, iya, saya penggemar novel Lupus karya Hilman, dan waktu itu banyak sekali tersedia di perpustakaan sekolah. Ibu Partini, petugas perpus, sampai hafal kegemaran saya itu. Jadi, saya terobsesi dengan model rambut tokoh Lupus dengan jambul di depan, dan itulah yang saya praktekkan.

Foto 2: Berpose di ruang kerja redaksi Tribun Pontianak, di sela-sela mengerjakan editing berita.

Bukan tanpa masalah, karena saking asyiknya membaca buku itu, saya harus didenda. Lha kenapa? Buku itu hilang, dan saya masih ingat judulnya: "Kejarlah Daku Kau Kujitak". Suatu hari, Ibu Partini mendatangi saya dan menayakan buku itu. Saya mengaku, buku itu hilang. Sebagai gantinya, saya harus membeli buku jenis novel juga, dan kalau tak salah, saya cari buku itu di emperan Pasar Lama. Bukan buku Lupus, tapi, kalau tak salah, buku Wiro Sableng, karena buku Lupus rupanya hanya dijual di Jawa.

Saya memang hobi membaca sejak SD, sejak dari kampung. Buku apapun saya baca, dan hobi ini semakin sempurna ketika saya sekolah di SMP Usaba 1 karena koleksinya tergolong lengkap. Saya juga baca buku Old Shatterhand karangan Karl May, yang mengisahkan kehidupan suku Apache (Indian) di pedalaman Amerika sana.

Dari situ, keinginan menulis semakin tumbuh, meski saya masih belum tahu bagaimana mewujudkannya. Tetapi, setiap kali membaca buku, saya sering membayangkan, jika suatu saat saya juga akan mampu menulis. (Dan akhirnya, karya tulis saya yang pertama dimuat di koran, saat kuliah di Yogkayarta, berupa resensi buku di Koran Bernas, September 1997. Sejak itu saya terus menulis, meski tak selalu lancar, dan hingga sekarang saya berprofesi sebagai wartawan).

Saya mencoba serius saat mengikuti pelajaran bahasa Indonesia yang diampu Pak Murdianto. Beliau ini kerap memotivasi siswa, supaya mengembangkan keterampilan dan kreativitas dengan menulis. Tetapi, menulis yang baik harus disertai pemahaman tatabahasa yang benar pula. Nah, kami pun "terjebak" dalam berbagai teori, hafalan, aturan, atau apalah namanya, terkait ketatabahasaan. Harus saya akui, pelajaran itu banyak memberi pengaruh, kelak di kemudian hari. A big step starting from a baby step, kata orang barat.

Suatu hari, lama kemudian, saya bertemu kembali dengan Pak Mur di Yogyakarta. Saat itu, kalau saya tak salah, sekitar tahun 2004 atau 2005, beliau mengantarkan anaknya yang hendak kuliah di Kota Gudeg itu. Kesempatan kami bernostalgia tentang SMP Usaba 1, dan saya senang bisa menunjukkan beberapa karya saya yang dimuat di koran kepada beliau. Setidaknya, saya merasa, andil beliau sebagai pendidik mencapai tujuannya, dalam ukuran tertentu.

Saya mulai bisa memahami, alangkah tak baiknya selalu berpikiran "kecil". Sangat buruk menganggap diri "bukan apa-apa" hanya karena berasal dari kampung nun di belantara hutan dan berasal dari keluarga yang tergolong tidak berada. Setidaknya saat berjumpa Pak Mur di Yogya itu, saya menjadi sadar, ada suatu titik yang menjadi kesempatan kita untuk merefleksikan kembali, sejauh mana suatu pengajaran yang pernah diterima dimasa lalu, menemukan realisasinya pada masa kini. Dan saya bahagia, melihat seyum Pak Mur saat melihat fotokopi hasil tulisan saya di sejumlah koran, baik lokal Yogya maupun koran yang terbit di Jakarta.

Horor di Kelas 2A
Menjadi siswa di sebuah sekolah favorit di era 90-an, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi saya. Maklum, di kampung sana, saya hanya lulusan sebuah SD negeri, yang meskipun paling top di kampung, ya tetap saja tertingga dibanding sekolah di kota. Saya lulus SD sebagai pemegang rangking 3 dari 15 siswa. Bekal ini tetap tidak sanggup mendongkrak keyakinan saya untuk mampu menaklukkan SMP favorit ini. Dan memang, sampai lulus dari SMP Usaba 1, tidak pernah saya mampu meraih rangking tiga besar.

Ada satu pengalaman yang tak pernah bisa saya lupakan. Kalau dijadikan film atau novel, barangkali cocok jika diberi judul: "Horor di Kelas 2A". Alkisah, saat kenaikan kelas, saya ditempatkan di kelas 2A, yang waktu itu letaknya di sayap kanan paling depan, sebelum ruang UKS.

Masalah bermula saat pelajaran bahasa Inggris yang diasuh Pak Mardiatmoko. Saya dan banyak siswa lain, memang punya phobia terhadap pelajaran cas cis cus ini. Waktu kenaikan kelas saja, nilai bahasa Inggris saya 4. Entah, mengapa pelajaran ini begitu tak menariknya, dan selalu menjadi momok, selain pelajaran matematika.

Saat Pak Mardi mengajar di depan kelas, iseng saya menggambar beliau. Saya goreskan di kertas, sosok seorang guru yang sedang berdiri di depan kelas. Saya tak ingat, materi apa yang diajarkan pada saat itu. Setelah pelajaran usai, saya tak tahu ke mana perginya gambar hasil karya saya itu. Sampai akhirnya, ada seorang teman--entah siapa saya tak tahu sampai sekarang--yang menambahkan tulisan di gambar itu.

Tulisan inilah yang menjadi masalah. Teman yang tak saya ketahui siapa itu, menulis di gambar itu: "Mardi gila". Lebih apes lagi, ada seorang teman yang mungkin merasa "hero", melaporkan dan menyampaikan gambar itu ke pihak sekolah. Seketika, suasana memang menjadi horor. Kepala Sekolah, Bruder Petrus Ponidi FIC, marah besar. Dengar-dengar, kami bisa diskors sekelas selama sebulan, jika tak ada yang mengaku.

Saya sadar, sayalah pangkal masalah ini. Bagaimana mungkin hanya gara-gara saya, sekelas bisa kena sanksi skorsing? Dengan gemetaran, saya menghadap Pak Mardi, saya akui, sayalah yang menggambar karikatur itu. Tapi disertai sangkalan, bukan saya yang menuliskan kata-kata "kasar" itu. Seingat saya, Pak Mardi menjawab datar: "O, jadi kamu yang menggambar? Kamu harus cari, siapa yang menulis!"


Foto 3: Mewawancarai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar, Alexius Akim, 2009.

Masalah belum selesai. Apalagi, beberapa teman sepertinya sinis kepada saya, karena menilai sayalah biang keroknya. Mereka tak mau tahu, kalau gambar saya sesungguhnya bukanlah masalah utama, melainkan tulisan "seorang teman misterius" yang iseng tapi tak berani bertanggungjawab. Beruntung, kami punya wali kelas yang saya nilai bijaksana. Pak Tukiyat, meskipun sangat ditakuti karena mengajar matematika dan terkenal ganas serta galak, menjelma menjadi sosok kebapakan yang sangat mengentramkan hati saya dan mungkin rekan-rekan sekelas.

Pak Tukiyat sampai menggelar rapat khusus di kelas, untuk menyelesaikan kasus ini. Di rapat itu pun, dengan gemetaran, saya berbicara. Saya akui, sayalah yang menggambar sosok Pak Mardi, tapi bukan saya yang menambahkan tulisan itu. Pak Tuikiyat pun tidak marah kepada saya. Entah bagaimana akhirnya kasus ini, saya tidak ingat. Yang jelas, kami tidak mendapat sanksi skorsing, Pak Mardi tetap mengajar seperti biasa, dan horor itu berlalu begitu saja.

Saya sempat sangat terganggu dengan insiden ini. Tidur menjadi tak nyenyak, setiap pagi menginjakkan kaki di sekolah ini, kekhawatiran senantiasa menghantui. Dari pengalaman ini, secara nakal, saya bisa menarik hikmah: eh, anak kampung yang merasa diri kecil, rupanya bisa bikin gempar sebuah kelas di sekolah faforit rupanya, hahaha!

Saya angkat topi sama Pak Tukiyat. Sehari-hari, dia mengajar dengan galaknya. Jika tak bisa mengerjakan soal matematika, siap-siap pucat pasi dan berkeringat, bahkan mungkin memar karena pukulan penggaris atau cubitan. Bisa dipahami, saat itu beliau masih bujangan, barangkali jiwa muda masih berkobar. Tapi saat menjadi wali kelas 2A itu, betapa Pak Tukiyat menjadi sosok kebapakan, mengayomi, melindungi, dan mencari solusi. Kata-katanya amat menyejukkan, dan saya, sebagai pangkal masalah, merasa tidak diadili, melainkan diajari untuk bertanggungjawab.

Oh ya, ada satu pengalaman spesial di SMP Usaba 1. Ada dua "kakek" yang ikut mendidik saya, yakni Pak Murdianto dan Pak Supardjo. Ayah saya, dulunya juga siswa SMP Usaba 1, dan pernah diajar kedua kakek ini. Belakangan, saya akhirnya punya keberanian mengatakan kepada kedua beliau ini, kalau ayah saya juga dulunya murid mereka. Pak Pardjo sampai berucap: "Wah, kalau begitu, kamu ini cucu saya."

Ucapan itu membuat saya senang bukan kepalang. Maklum, beliau ini dikenal sebagai guru killer, yang jika sedang dilanda amarah, membuat para siswa ketakutan. Ayah saya pun pernah berpesan, berperilakulah yang baik terhadap Pak Pardjo, dengarkan penjelasan beliau, karena beliau ini memang agak galak. Tapi, justru galakknya Pak Pardjo, mengajarkan saya tentang ketekunan. Betapa sia-sianya suatu pelajaran, jika tak disertai sikap tekun, disiplin, dan serius. Pak Pardjo pasti akan marah, jika siswa bersikap tidak serius mengikuti suatu pelajaran.

Asrama Bruder
Saya punya beberapa keluarga di Ketapang. Tetapi ayah saya bersikukuh menempatkan saya di asrama Wisma Putra Kusuma (WPK) milik Kongregrasi Fractrum Imakulate Conseptionis (FIC). Selain memiliki sejumlah sekolah seperti SMP Usaba 1, asrama putra itu menjadi karya para bruder FIC yang cukup penting di kabupaten ini.

Sudah tak terhitung berapa banyak putra pedalaman, yang berhasil keluar dari perangkap ketertinggalan, berkat adanya asrama itu. Artinya, selain ditampung untuk tinggal di sana, juga sekaligus bisa bersekolah di SMP yang tergolong bonafid. Hal yang barangkali jarang-jarang bisa dinikmati kaum kelas bawah di belahan dunia lain.

"Nanti kamu tinggal di asrama bruder. Di sana enak, semuanya terjadwal, dan setiap pagi sembahyang ke gereja katedral," ujar ayah saya, setelah saya berhasil lulus ujian SD.

Saya yang waktu itu masih amat minim pengalaman dan merasa belum siap pisah dengan orangtua, berontak dalam hati. Padahal, batin saya, di kampung juga ada SMP negeri. Mengapa tidak sekolah di kampung saja?

Ayah saya bersikukuh, dan saya tak bakal bisa menolak. Terbayang sulitnya hidup di asrama, dengan banyak orang dan jadwal yang serba ketat, nyaris menarik nafas pun tak bisa. Waktu itu, pimpinan asrama Bruder Petrus Ponidi FIC, yang juga mengepalai SMP Usaba 1. Kesan saya, Bruder Petrus sangat bijaksana dan menampakkan sisi "kebapakan". Meski harus tinggal jauh dari keluarga, saya menempatkan Bruder Petrus sebagai orangtua, baik di sekolah maupun di asrama.

Harus saya akui, tidaklah mudah awalnya menjalani kehidupan di asrama. Terkadang, hukum rimba berlaku. Teman yang lebih besar bisa sewenang-wenang, di belakang pengelola asrama, untuk mengintimidasi penghuni yang lebih kecil. Maka tak heran, sering terjadi perkelahian tak seimbang antara anak asrama yang sudah senior dengan yang junior.

Foto 4: Berpose di atas ring dengan mantan juara dunia tinju Elias Pycal, usai meliput pertarungan Daud Yordan melawan petinju Philipina Robert Allanic, Juni 2009.

Saya merasa takut, dan hanya bisa berdiam diri jika ada senior yang mencari gara-gara. Saya tidak terbiasa berkelahi, dan tidak senang melayani pertengkaran.

Jadwal acara di asrama sudah diatur sedemikian teliti. Setiap subuh, kami sudah bangun pukul 04.00 WIB. Setelah mandi, seluruh penghuni belajar di ruang study dengan pengawasan seorang bruder. Menjelang pukul 05.30, kami berangkat ke gereja Kathedral Santa Gema Galgani, yang hanya "sepelemparan batu" jaraknya dari asrama.

Kami pun sudah dibagi tugas masing-masing, umumnya sebagai putra altar. Dari situ, saya menjadi tak asing dengan Uskup Ketapang, Mgr Blasius Pujaraharja. Menjadi putra altar membantu uskup mempersembahkan misa, bukanlah hal yang aneh bagi kami.

Belakangan, saat saya kuliah di Yogyakarta, seorang teman dengan bangganya bercerita tentang kebahagiannya bisa bersalaman dengan uskup. Hah? Hanya bersalaman dengan uskup saja bisa segembira itu? Saya di Ketapang nyaris tiap pagi menjadi putra altar bagi uskup?

Barulah saya sadari, betapa beruntungnya menjadi umat di Kota Ketapang, karena antara uskup dengan umat nyaris tiada jarak. Kapan pun mau bertemu, pasti akan bertemu minimal saat misa. Lha, Yogyakarta itu hanya sebuah Kevikepan di bawah Keuskupan Agung Semarang. Jarak dan kesempatan yang jauh, sehingga wajar jika mereka menganggap perjumpaan dengan uskup menjadi sangat istimewa.

Setelah misa pagi, kami kembali ke asrama untuk sarapan, dan berikutnya berangkat ke sekolah. Pulang dari sekolah, segera makan siang dilanjutkan istirahat. Sore hari kami bekerja sesuai pembagian: ada yang menyapu lantai, mengepel, memotong rumput, dan memasak di dapur. Menjelang gelap, setelah semua mandi dan makan malam, dilanjutkan belajar di ruang study dengan pengawasan bruder atau beberapa guru.

Meski awalnya berat, saya mulai menikmati kehidupan di asrama. Banyak nilai kehidupan, baik sosial maupun religius, bisa didapatkan jika mau menghayati secara dalam. Itu sebabnya, saya bangga karena punya pengalaman tinggal di asrama. Kelak pengalaman ini amat mempengaruhi perjalanan hidup saya, mulai dari saat kuliah nun di seberang pulau di tanah Jawa, sampai pengalaman merantau ke daerah lain.

Saya tergolong penghuni asrama WPK yang paling lama bertahan di antara rekan seangkatan. Setelah lulus SMP, saya melanjutkan ke SMA Santo Yohanes, tetap sebagai penghuni asrama. Total enam tahun saya "bertapa" di asrama itu, menikmati senang-susah, pahit-manis, dan nuansa persaudaraan yang unik, khas, dan mengesankan.

Pernah menjadi warga asrama mengajarkan saya tentang hidup sederhana, saling berbagi, toleransi, dan jiwa kesetiakawanan. Ego pribadi juga bisa dikelola dengan proporsional, meskipun kadangkala bisa juga menjadi tak terkendali.

Saya semakin menyadari, dari sisi inilah karya para Bruder FIC menemukan puncaknya: menyelenggarakan pendidikan bagi semua kalangan, mendorong peningkatan kualitas manusia, sembari tidak melupakan perhatian pada kaum miskin. Bayangkan, jika tak ada asrama, mungkinkan anak-anak kampung nun di belantara rimba raya, bisa menikmati sekolah bonafid?

Sindrom Inferioritas
Dua puluh tahun telah lewat tanpa terasa. Saya dan tentu semua orang, tenggelam dalam rutinitas keduniawian yang nyaris menenggelamkan sisi kemanusiaan masing-masing. Beruntung ada kesempatan dan momentum untuk merenung dan menengok ke belakang, untuk me-review sudah seperti apa "wajah" perjalanan hidup ini.

Sejujurnya, perasaan bahwa diri ini kecil dan bukan apa-apa, tetap saja menghantui. Hanya saja, nuansanya tak sama persis seperti yang saya alami tatkala pertama kali menjejakkan kaki di asrama WPK dan SMP Usaba 1.

Melalui internet, saya menjumpai beberapa teman satu sekolah di masa lalu. Saya menemukan, betapa mereka kini menjadi orang hebat dan sukses, jauh dan amat jauh jika dibandingkan kehidupan saya. Harus saya akui, sindrom inferioritas itu muncul tanpa sanggup ditepis. Tetapi bedanya, saya yang sekarang berbeda dengan saya waktu 20 tahun lalu. Kini saya memahami, masing-masing orang mengantongi talentanya masing-masing. Karunia ilahi itu, tentu tak mungkin seragam satu dengan lainnya.

Foto 5: Mewawancarai Seniman Pematung Dayak, Petrus Lengkong, di arena Pekan Gawai Dayak ke-24 di Kota Pontianak, Juni 2009.

Mengetahui betapa teman-temanku itu menjadi orang yang sukses dan bahkan kaya raya, tetap menyelipkan rasa bangga tersendiri. Rasa bangga, karena saya pernah menjadi bagian dari mereka, setidaknya sebagai teman satu sekolah saat SMP.

Dibuang Sayang
Akhirul qalam, saya berhasil mengingat pengalaman lucu dan menggelitik, sepanjang menjadi siswa SMP Usaba 1. Usia remaja yang diwarnai dengan perkembangan pubertas, membuat saya mulai mengenal dan merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis.

Saya sempat menyukai beberapa siswi, meski tak pernah berani mengungkapkannya. Andaikan mendapat balasan senyum saja, bukan main rasanya, melambung ke langit ketujuh. Apalagi kalau bisa surat-suratan, yang pada masa itu populer dengan sebutan "karcis", yakni semacam surat singkat yang saling berbalasan antara kita dengan orang yang ditaksir.

Lagi, karena saya sadar sebagai orang kampung, kecil, kurus, berjerawat, mana berani mengungkapkan terus terang kalau punya perasaan suka terhadap seorang siswi? Dipendam saja dan dijadikan bunga tidur, sampai akhirnya lenyap sendiri. Siapakah orang-orang yang pernah saya taksir selama di SMP? Kali ini, jangan harap saya mengaku. Sorry lah yaw...rahasia perusahaan, hahaha!

Kalau saya renungkan, di masa kini, betapa remaja usia SMP sudah berani menunjukkan cara-cara berpacaran sedemikian berani. Tak jarang justru muncul skandal yang mengemuka lewat internet, yang menunjukkan norma-norma pergaulan itu telah sedemikian bergeser. Begitulah jaman yang senantiasa berubah, seturut makin tuanya usia bumi ini!

Satu impian yang tak pernah terwujud selama SMP, yakni menjadi anggota drum band. Padahal, saat masih di kampung, ayah saya bercerita betapa asyiknya menjadi penabuh drum dalam barisan marching band ini. Dulunya, ayah saya sempat menjadi satu di antara pasukan drum band.

Foto 6: Bersama James Richie, wartawan senior Eastern Times, saat kunjungan Serawak Dayak National Union (SDNU), 21 September 2009.


Hanya sayangnya, mungkin karena postur tubuh saya yang waktu itu kecil kurus kerempeng, tidak meyakinkan untuk bergabung. Saya hanya bisa mengamati dengan takjub, setiap kali melihat teman-teman saya yang bertubuh lebih tegap memainkan alat musik itu, mengitari kota Ketapang sambil menyuarakan aneka bebunyian yang enak didengar. (*)




6 komentar:

  1. beginilah kalo wartawan handal yang menulis, membacanya menyenangkan..hehe mantap mgr. jadi ingat masa lalu yg menyenangkan di smp usaba.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Gan, panjang bener tulisannya..tapi membuat penasaran sehingga tetap tak baca sampe selesai wakakka....bagus bener tulisannya gan, hebat....cuma ada 1 pertanyaan yang bener2 bikin penasaran...siapa seh cewe2 yang loe taksir itu? bagi dong gan....heehehhehe

    BalasHapus
  4. @ Bung Nday: waduh, saya belum handal lah. bahkan masih bisa dibilang pemula. masih belajar dan tetap tertatih-tatih, hehehe
    @ Admin: waw yg pake nick Admin ini sepertinya Agan Maryanto ya? Hehe, itu sengaja panjang-panjang, karena ada pameo: lebih enak yg "panjang, dalam, dan terasa", ya gak? soal siapa aja cewek-cewek itu, wakakaka, sorry lah yau, maluuuu...kekekeke

    BalasHapus
  5. Bos, ijin save foto sama Pak Pet, buat profil Pak Pet. Thx sebelumnnya.

    BalasHapus
  6. Bagas tulisan .mantap saya juga mantan penghuni wpk tahun 1983 sd 1986...banyak kenangan hampir seperti yg di ceritakan wartawan handal kita ini

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Anak Kampung yang Selalu Merasa Kecil