writing, sharing, expressing

Cari Jeneng, Bukan Jenang

* Dua Jam Berbicang dengan Kusno

Angin puting beliung, hujan deras, dan petir yang sambar menyambar di Kota Pontianak, Selasa (13/10) lalu memberi kesan tak terlupakan bagi Kusno Setyo Utomo (32).

Ia dan seluruh penumpang pesawat dari Yogyakarta ke Pontianak sempat sport jantung, saat "montor mabur" itu kembali naik ke udara, beberapa saat sebelum menyentuh landasan di Bandara Supadio.

Di wilayah Jl P Natakusuma, angin puting beliung yang mulai menggila sekitar pukul 13.27 WIB itu merusakkan sejumlah rumah. Pemberitaan koran esok harinya berisikan sejumlah foto dan kesedihan warga yang menjadi korban.

Mas Kusno, panggilan saya untuk Kusno Setyo Utomo, adalah warga Yogyakarta, seorang wartawan Radar Jogja, dari Jawa Pos Group. Selasa sore itu merupakan kali pertama ia menginjakkan kaki ke Kota Khatulistiwa.

Kusno ikut karena menjadi bagian suatu lembaga di Kota Gudeng, yang tengah menyusun kerja sama dengan Pemkot Pontianak. Sedianya, rombongan berangkat dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta sekitar pukul 09.00 dengan Sriwijaya Air. Otoritas bandara mengumunkan delay, hingga pukul 13.00. Berangkatlah mereka menuju Kota Pontianak, namun penerbangan tidak mulus.

"Semula kami hendak didaratkan sementara di Pangkal Pinang, tapi tak jadi. Akhirnya mendarat sementara di Pelambang, dan sempat menunggu di sana," tutur Kusno, saat saya jumpai di tempatnya menginap, Hotel Mercure, Rabu malam sekitar pukul 21.40.

Sekitar pukul 15.00, pesawat diterbangkan dari Palembang menuju Pontianak, di tengah hujan deras. Kusno mengisahkan perjalanan itu terasa menegangkan. Seorang anak kecil yang duduk di belakangnya menangis tiada henti.

"Suara tangisan itu membuat suasana terasa mencekam. Saat hendak mendarat di Pontianak, pesawat sudah hampir menyentuh landasan. Eh ndilalah tiba-tiba gerakannya menaik lagi ke udara dengan guncangan-guncangan lumayan kuat. Semua penumpang, saya lihat, pucat wajahnya," tutur Kusno.

Begitulah, perjalanan pertama ke kota ini memberikan kesan tak terlupakan bagi pria bekacamata ini. Omong-omong, siapa Kusno ini?

* * *

Dia kakak kelas saya, saat sama-sama kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kami kuliah di Program Studi Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik. Saya angkatan 1997, dan Kusno duluan setahun. Tapi untuk beberapa matakuliah, kami kerap satu kelas.

"Wah, lima tahun kita nggak ketemu, sejak wisuda bareng April 2004 lalu," kenang Kusno.

Tak ada yang berubah dari sosok Kusno. Juga kegemarannya menggunakan busana serba hitam. Kami bercerita, tentu saja sambil mengenang saat-saat kuliah di Yogya.

Kurno sudah menjadi wartawan Radar Jogja sejak berusia 23 tahun, dan saat masih menjalankan kuliah. Di kampus, saya semula curiga, dengan penampilan Kusno yang beda dengan mahasiswa lain. Dia selalu rapi, tak tak pernah kelihatan "cangkruk" di kantin atau selasar kampus.

"Saya tebak, Mas Kusno pasti udah kerja," ujar saya, dalam sebuah perkuliahan yang kami ikuti bersama. Kusno hanya mengangguk dan tersenyum.

"Ya, di penerbitan," ujarnya, tanpa langsung menyebutkan langsung profesi wartawannya.

Hal yang saya ingat, Kusno pandai sekali meniru tulisan tangan Bung Karno dan Pak Harto. Saat mengikuti perkuliahan yang membosankan, ia kadang menggoreskan pena cairnya ke secarik kertas, lalu menunjukkannya kepada saya.

Saya perhatikan, persis. Mirip sekali dengan tulisan tangan Bung Karno dalam beberapa dokumen sejarah. Juga mirip tulisan Pak Harto yang bisa kita temukan dalam sejumlah sambutan penerbitan buku.

Saya sempat bergurau, bahwa ada "hubungan" antara Mas Kusno dengan Bung Karno. Menurut sebuah buku, sebelum bernama Soekarno, Putra Sang Fadjar itu terlebih dahulu diberi nama oleh keluarganya dengan "Koesno". Mas Kusno hanya nyengir mendengar gurauan saya.

* * *

"Gimana pekerjaannya, Mas," tanya saya dalam perbincangan di Hotel Mercurie itu.

Pertanyaan ini saya rasa penting, barangkali bisa mendapatkan pencerahan. Maklum, Kusno kini menapaki tahun kesembilan kiprahnya di jurnalistik. Saya kira, banyak sekali ilmu dan pengalaman yang bisa saya dengar dan pelajari.

"Masih seperti dulu, saya liputan tiap hari. Masih di lapangan. Sempat ditawarkan jadi redaktur, tapi masih saya tolak dulu. Saya enjoy dengan pekerjaan ini," kata Kusno.

Saya kagum dengan semangat itu. Padahal, ia sempat hampir celaka gara-gara pekerjaannya. Januari 2004, di suatu malam Jumat, Kusno dipukul oleh dua orang tak dikenal saat hendak pulang dari kantor.

Saya sendiri baru tahu kejadian ini, saat ada seminar di kampus, kalau tidak salah mengenai kekerasan terhadap wartawan. Mas Kusno menjadi satu dari beberapa pembicara, menuturkan peristiwa yang dialaminya. Diduga kuat, pemukulan itu merupakan imbas dari berita yang ditulisnya.

Saat itu ia merupakan wartawan untuk desk kota, sehingga liputannya berkisar Pemkot dan DPRD Yogya. Tapi, ia tidak kapok. Kepada saya, dia mengatakan, jika mencintai suatu pekerjaan, apapun resikonya harus dihadapi dengan berani.

Dulu, entah tahun berapa persisnya, Kusno pernah datang ke kos saya saat masih di Yogyakarta. Memang kadang kami bertemu untuk sekadar diskusi kecil terkait tugas-tugas kuliah.

"Ndi, kowe nduwe montor ora?" tanyanya.

Ia menanyakan, apakah saya punya sepeda motor. Sepanjang masa perkuliahan, saya tak memiliki kendaraan pribadi. Saya hanya bisa naik bus kota atau angkot untuk berangkat kuliah atau sekadar jalan-jalan.

"Waduh, ra nduwe mas. Ketoke ono gawean yo," aku menebak, dia menawarkan suatu pekerjaan.

"Iyo, Ndi. Meteor nggolek wartawan anyar," ujarnya.

Meteor, koran kriminal milik Radar Jogja, mencari wartawan baru. Ia menawarkan peluang itu padaku, dan sayang sekali aku tak bisa mengambil kesempatan ini. Memiliki sepeda motor pribadi mutlak dimiliki wartawan. Lah iyalah, mosok nyari berita, kriminal lagi, cuman mengandalkan angkot?

* * *

Ketika aku kisahkan kembali cerita itu, Kusno masih mengingatnya. Memang saat kuliah, aku sempat beberapa kali menulis di harian lokal maupun nasional. Tapi hanya berupa artikel ringan, seperti kolom mahasiswa dan resensi buku. Ada sekadar honor untuk membeli rokok kretek.

Dalam perbincangan malam itu, aku menumpahkan sebagian keluh-kesahku. Tentang tantangan pekerjaan sehari-hari, suasana yang kadang tak menyenangkan, sampai pada rasa bosan yang belakangan ini sepertinya mencapai kulminasi.

Kusno memang seorang Jawa yang baik. Ia mendengarkan dengan cermat, dan tidak memvonis. Usai mendengarkan keluh-kesahku, ia pun menyitir beberapa falsafah Jawa.

"Saya tidak hebat. Kebetulan saja saya lebih dulu jadi wartawan. Kamu menurut saya hebat. Meski di Pontianak ini baru setahun lebih jadi wartawan, tapi kamu sudah pernah bertugas sampai ke Kaltim," ujarnya.

Ya, setelah tamat dari Universitas Atma Jaya 2004 lalu, saya berkesempatan bekerja di sebuah majalah di Kutai Barat, Kaltim selama dua tahun. Setahun sebelumnya, di tengah masa pengerjaan skripsi, saya juga berkesempatan bekerja di sebuah tabloid di Balikpapan meski hanya beberapa bulan.

"Soal kebosanan, tantangan, dan sebagainya, itu wajar lah. Namanya juga nggolek urip, Ndi. Dan kita manusia, bukan mesin. Wajar kalau ada dinamika seperti itu," katanya.

Ia pun menyemangati dengan falsafah 'cari jeneng, bukan jenang'. Jeneng artinya nama. Kusno bilang, selagi masih muda, kita harus mencari 'nama'. Membangun image dan citra yang positif, untuk menapak langkah berikutnya. Bukan mencari jenang, yang diasosiasikan dengan materi yang didapat. Jenang sendiri sebenarnya sejenis makanan mirip dodol yang terkenal di Jawa.

"Pada awalnya, carilah nama. Biarlah suatu saat, orang bisa mengenal kita, sehingga pergaulan sosial menjadi luas. Materi atau penghasilan, nanti dengan sendirinya seiring kesuksesan kita," begitu sarannya.

Di tengah kepenatan hidup dan kesumpekan pikiran, bisa saja kita justru menilai orang lain lebih enak hidupnya. Tentang hal ini, Kusno pun punya falsafah menarik.

"Itulah namanya wang sinawang. Artinya, kita bisa menilai hidup orang lain itu lebih enak. Padahal jika kita berada pada posisi orang itu, mungkin kita juga tetap mengeluh," katanya.

Ia pun berilustrasi Bisa saja seorang gubernur menilai, profesi tukang becak itu enak. Walaupun capek mengayuh becak, tapi uang yang diperoleh cukup untuk beli makan, dan abang becak bisa tidur pulas.

Sebaliknya, seorang gubernur tak perlu bersusah payah mengeluarkan tenaga seperti abang becak, dan uangnya banyak. Ia bisa makan apa saja. Tapi bisakah dia tidur nyenyak?

Berbagai urusan, belum lagi menghadapi masalah politik, membuat tidur pun tak nyaman. Tukang becak bilang, jadi gubernur enak. Sebaliknya bisa saja gubernur bilang, jadi tukang becak enak. Tak banyak pikiran.

* * *

Hampir dua jam, kami berbincang sambil duduk di kursi empuk loby hotel yang baru beberapa bulan diresmikan itu. Di luar, gerimis kembali membasahi bumi, setelah tadi siang dihajar dengan hujan deras, tiupan angin, dan kilatan petir. Saya pamit, dan Mas Kusno mengantar sampai ke pintu hall. Esoknya, sekitar pukul 12.00, ia akan kembali bersama rombongan ke Kota Gudeg.

Kota Pontianak,
Jumat, 16/10/09, pk. 22.40 WIB
di sela jadwal piket di kantor




3 komentar:

  1. hola,

    mgr ini, dalam situasi, seperti quote "between grass and hay", belum waktunya untuk jadi.

    BalasHapus
  2. bung nday
    bukan "belum waktunya untuk jadi"
    tapi mungkin bakal "tak jadi-jadi"
    haha

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Cari Jeneng, Bukan Jenang