writing, sharing, expressing

Bisakah Hidup Tanpa Masalah?

Pertanyaan itu sangat bodoh! Ya, aku menyadarinya, stupid absolutely! Tetapi mengucapkan pertanyaan paling bodoh sekalipun, barangkali masih bisa disebut penanda seseorang sedang berpikir. Atau bingung, atau stress, atau sudah di ambang kematian.

"Kalau tak mau ada masalah, silakan hidup di surga," jawab seseorang, entah siapa. Mungkin benar, karena dengan iman yang sangat dangkal begini, teritorial surga terasa sangat absurd untuk dibayangkan.

Teman SMP-ku dulu pernah mengalami mati suri. Suatu saat, cerita sang kawan itu, ia terkena sakit perut yang luar biasa. Lama-lama, ia merasakan tubuhnya ringan, dan tiba-tiba sudah berada di suatu tempat asing.

Di tempat yang dikisahkan teduh, sejuk, dan rumputan yang luas itu, ia menapak sebuah jalan lurus. Di kiri kanan jalan, ia melihat beberapa keluarga sedang duduk mengelompok, bercanda riang. Ada lelaki, ada perempuan dan anak-anak.

Ia menapak jalan panjang yang tak terlihat ujungnya itu sendirian. Semakin dia menapak, semakin tidak jelas apa sebenarnya tujuan di depan sana. Sampai ia berjumpa seorang tua, yang menyuruhnya berbalik arah.

Ia pun mengikuti saran pak tua, dan tiba-tiba kesadarannya kembali. Selama 'pengembaraannya' di negeri asing, keluarga dan haidai taulan telah memandikan jasadnya. Tubuh kakunya telah dibaringkan di sebuah tikar, dan kain kafan pun dipersiapkan.

Begitu ia membuka mata, bangkit duduk, orang-orang kaget dalam keheranan bercampur ketakutan sekaligus haru. Mereka bertangis-tangisan, dan temanku itu masih hidup hingga kini.

Aku masih tak mau melucu, tapi bagian ini sedikit menggelitik. Sebelum mengalami mati suri, tak ada yang aneh di wajah temanku. Namun setelah dia 'hidup kembali', matanya menjadi sangat sipit.

Itulah perbedaan di wajahnya, sebelum dan sesudah 'kematiannya'. Sejak lulus SMP sampai sekarang, belum pernah aku bertemu dia. Tetapi dari kabar burung, kudengar dia sudah menikah dan memiliki anak. Artinya, dia masih hidup normal.

Aku juga teringat sebuah mahakarya Arswendo Atmowiloto yang ditelorkannya selama berada di penjara. Kira kira kisahnya begini: kalau orang tak pernah kena sakit usus buntu, ia tak akan peduli dengan pohon jambu biji di halaman. Namun setelah satu dari anggota keluarga terkena sakit itu dan harus operasi, maka pohon jambu biji jadi sasaran amuk. Ditebang, dirobohkan, dan sipersalahkan sebagai penyebab sakit usus buntu. Biji jambu yang mendekam di apendiks menyebabkan infeksi, sehingga pohonnya harus dimusnakahkan. Memang, sebuah logika nengkok dalam menyikapi masalah.

Dengan analogi itu, Arswendo hanya mau menceritakan tentang pahitnya masuk penjara. Ketika kita tak pernah berpikir, diri kita, keluarga kita, atau orang dekat kita, tak berhubungan dengan penjara, kita akan cuek bebek dengan segala permasalahan hukum dan penjara. Emang gue pikirin?

Tetapi begitu ada satu saja keluarga tersandung masalah, katakanlah masuk penjara, atau dibunuh, atau diperkosa, atau atau yang lain, baru mata kita terbuka: oh...ternyata begitu ya?

Demikian pula ketika kita merasakan 'nikmatnya' tidak berada dalam suatu kisaran konflik. Dalam hari pasti terucap, 'untung bukan aku'. Karena pilosofi 'untung bukan aku' itulah, kita merasa menjadi panglima yang bebas, berbuat apa pun, mengobok-obok.

Kepekaan sosial menjadi tumpul bahkan mandul, tanpa mau peduli apa pun. Saat kita tertawa, ada orang lain yang menjerit. Dan kita menikmatinya atas nama pilosofi 'untung bukan aku'. Hei, masih terus membaca? Jangan percaya tulisan orang stress. Pergi sana!




0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar :)

Bisakah Hidup Tanpa Masalah?