writing, sharing, expressing

Pelayanan

Saat pernah jauh dari Kalimantan Barat, satu hal yang selalu membuat saya rindu tanah leluhur adalah warung kopi (warkop). Suatu siang di Balikpapan, Kalimantan Timur, awal tahun 2003, saya dan seorang rekan sekantor sedang kepanasan setelah “memburu berita”. Saya memberi usul, untuk tidak kembali ke kantor dulu. “Kita cari warkop,” ajak saya pada rekan tadi. Dia mengiyakan saja, dan saya terus memacu motor sambil menebar pandangan di pinggir-pinggir jalan yang kami lalui. Sial, tak sebiji warkop pun kami temui, malah badan tambah capek. Kami kembali ke kantor dan membuat sirop dingin sendiri. Sambil melepas lelah, kami bicara ngalor-ngidul.

“Heran, tak ada warkop di Balikpapan ya,” gerutu saya. Teman saya yang kami panggil professor--karena wataknya yang pendiam, dandanan yang formil dan kacamata tebalnya selalu melorot—mengangguk-angguk. “Iya sih, Pak,” jawabnya. “Balikpapan ini kota bisnis, orang-orang tak ada waktu untuk nongkrong di warung kopi.” Ah, bathin saya, Pontianak dan Ketapang di Kalbar juga kota bisnis, tapi warung kopi bagai tiada habisnya di pinggir-pinggir jalan.

“Kebetulan, Pak, saya pernah membaca hasil penelitian,” lanjut rekan tadi. Dengan wajahnya yang serius, dia menjelaskan hasil penelitian yang menceritakan korelasi keberadaan suatu warkop dengan watak masyarakat. Menurut yang dia baca, semakin banyak jumlah warkop di suatu kota, semakin mengindikasikan bahwa masyarakat kota tersebut pemalas! Mereka lebih senang nongkrong dan membual di warkop, ketimbang bekerja giat. Mendengar penjelasannya, pikiran saya segera melayang ke tanah leluhur Kalbar. Mulai dari Ketapang, saya kerap menjumpai orang-orang berseragam PNS kongkow-kongkow di warkop. Di Pontianak, lebih dahsyat lagi. Warkop hadir dengan beragam nuansa. Tempat cuci mobil di siang hari, disulap jadi warkop di malam hari lengkap dengan layar lebar untuk menonton pertandingan sepak bola. Di daerah Siantan, ada warkop non-stop 24 jam, juga lengkap dengan beberapa tv plasma dan layar lebar, yang menampilkan siaran dari tv cable. Itulah nuansanya.

“Tapi ini hasil penelitian lho Pak, jangan tersinggung,” lanjut rekan saya. Ah, buat apa tersinggung, toh itu hasil penelitian yang mencerminkan salah satu sisi kehidupan masyarakat. Meski, saya juga punya pendapat berbeda. Bagi saya, meski mungkin benar hasil penelitian yang dibicarakan rekan tadi, keberadaan warkop telah juga menampilkan realita lain. Warkop di Kalbar telah menjadi wahana social dengan beragam nuansa. Di warkop, segala sisi kehidupan menjadi lengkap. Orang membicarakan mulai dari politik, hukum, lingkungan, pekerjaan, bisnis, atau sekedar nongkrong dan membicarakan nomor buntut, judi bola, atau cuci mata. Berbagai isu tak terduga bisa jadi justru muncul dari warkop. Siapa bupati dengan dukungan paling besar, siapa anggota dewan yang suka main perempuan, siapa pejabat yang koruptor, sampai siapa yang menghamili si Tini (lho?). Intinya, warkop telah menjadi wahana sosial yang menciptakan nuansa tersendiri bagi bumi khatulistiwa. Itulah sebabnya, saat saya bekerja di luar sana, rasa rindu akan warkop selalu muncul.

Tahun 2005-an di Samarinda, ibukota Kaltim. Hal yang sama seperti di Balikpapan saya alami. Betapa susahnya jika tak ada warkop untuk nongkrong. Teman yang mengantarkan saja jalan-jalan sampai kesal, karena selera saya terlalu tinggi, katanya. Waks, tinggi bagaimana? Tenyata warkop yang ada dalam bayangan teman saya adalah cafee exelco atau sejenisnya yang biasanya ada di mall-mall. Ternyata, untuk menjelaskan “bagaimana warkop” kepada orang dari kota non-warkop, sangatlah sulit. Dan memang, baik di Balikpapan maupun Samarinda, tak ada sama sekali warkop ala Pontianak atau Ketapang. Ya sudahlah.

Di pedalaman Kaltim, di sebuah kabupaten baru Kutai Barat, saya punya kenalan seorang bapak yang sudah lumayan berumur. Suatu sore, dia mampir ke kantor saya, dan bercakap-cakap ringan. Bapak ini sangat ramah dan suka melucu, karena itu kami menjadi akrab sekali. Menjelang agak senja, dia pamitan. “Mau minum kopi konyeh,” katanya. Saya heran, apa itu kopi konyeh? Di Kalbar, yang saya tahu hanya kopi pancong. Dengan terkekeh, dia menjelaskan bahwa kata konyeh itu berasal dari bahasa setempat, yang artinya kurang lebih “genit”. Kopi konyeh, kopi yang disajikan oleh orang yang genit dengan suasana yang genit pula, haha. “Begitulah,” Bung, katanya. “Di rumah saya, kopi dan gula tersedia, kurang apa? Tapi heran juga, belum minum kopi rasanya kalau belum ke kopi konyeh,” dia terkekeh lagi. Setelah saya lihat-lihat, tempat kopi konyeh itu pun sebetulnya bukanlah warkop yang bisa menuntaskan rasa rindu saya. Tempat itu berupa kafe-kafe dengan aneka suasana. Ada bir, ada kopi, dan juga ada wanita!

Setelah saya kembali ke tanah leluhur, Kalbar, rasa rindu saya akan warkop akhirnya tuntas sudah. Saya sering nongkrong dan berkumpul dengan teman-teman di tempat ini. Ada beberapa tempat dengan nuansa berbeda, terpilih menjadi warkop favorit.

Nah, masalah yang muncul adalah soal pelayanan. Di sebuah warkop yang terus terang saja kopinya tidak enak, saya dan teman-teman sering datang. Cukup lama warkop itu menjadi favorit, karena kami bisa sambil cuci mata. Mengapa? Di sebelah warkop, ada Warung Chinesse Food, yang mengkaryakan anak-anak gadis manisnya menjadi pelayan. Di warkop yang bersebelahan itulah, kami cuci mata sambil ngopi. Gadis di warung sebelah menjadi penarik minat. Mereka sering berpenampilan menggoda, mungkin disengaja agar dagangannya laris. Gadis-gadis yang masih remaja itu biasanya menggunakan t-shirt yang nge-pas, dan celana pendek yang juga ngepas. Belum lagi kulitnya yang putih mulus, dengan wajah bak artis film Korea, alamak! Sambil minum kopi dan melirik-lirik, saya serasa ingin menelan tubuh mereka bulat-bulat! Meskipun kopi yang kami seruput tidak enak, tapi “efek samping” itu rupanya yang justru jadi pemikat. Sampai suatu saat, kami semakin mengetahui bahwa ada yang salah dengan pilihan kami memfavoritkan warkop itu.

Pelayanan warkop yang terkesan sembarangan dan tidak simpatik mulai terasa menjengkelkan. Saat sepupu saya memesan jahe hangat, pelayannya malah membuatkan es extrajoss. Ketika diminta untuk diganti, dengan santai dan tanpa dosa, pelayan hanya berucap: “Diminum aja bang, kalo diganti nanti bos marah.” Lho?! Selain itu, perilaku “gadis-gadis korea” yang montok dan mulus di warung sebelah telah menampakkan aslinya. Mereka sering berteriak sesama mereka, dan ekspresi wajahnya acuh tak acuh kepada pelanggan. Lengkaplah sudah, dan kami pun menyebutnya sebagai “margin call”, suatu kondisi saat modal tertelan arus fluktuasi pasar finansial dalam forex trading! Jadi, kami menyebutnya sebagai warkop margin call. Tak pernah lagi kami ke sana.

Apa yang menjadi catatan penting adalah konsep pelayanan. Sebuah bank swasta yang mendapat predikat terbaik dari sisi pelayanan, memang membuat kita merasa ditempatkan sebagai nasabah yang selayaknya. Sejak dari satpam sampai kasir, menyapa dengan penuh keramahan. Tak hanya menyapa, tetapi juga pelayanan mereka sangat simpatik. Bandingkan dengan bank Pemerintah, misalnya, yang tega membiarkan nasabah mengantri berjam-jam, tanpa sapaan dan pelayanan yang menyenangkan. Ini sebuah contoh.

Warkop yang terkesan asal jualan, siap-siaplah ditinggal pelanggan. Jangankan warkop, pelacur yang menjajakan selangkangannya pun harus mempunyai konsep pelayanan yang simpatik. Menyapa, tersenyum, sabar, ramah, kalau dipikir-pikir, apa sih susahnya? Apalagi itu dilakukan justru untuk menunjang keberhasilan pelayanan yang dilakukan, apapun bidang usahanya.

Tapi beginilah hidup, ia akan selalu hadir berupa paradoks yang menampilkan nuansa aneka dan ragam!




2 komentar:

  1. Isu si Tini hamil barangkali akan jadi topik terhangat of the week bung

    Jadi ingat Mbak Tini, yang biasa diutangi Ogep di depan LPK...

    Hehe..

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Pelayanan