writing, sharing, expressing

Pak Harto: Sebuah Renungan Kecil

Media massa kita marak dengan exposure mengenai kondisi kritis kesehatan Pak Harto. Setiap saat, updatenya bisa kita saksikan di TV, radio atau internet. Dalam ingatan saya, media kita selalu begini, jika Pak Harto sedang kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit. Hingar-bingar pemberitaan yang segera diwarnai juga dengan sisi-sisi lainnya kehidupan Pak Harto, terutama persoalan hukum. Dan hingar-bingar itu segera lenyap jika Pak Harto akhirnya sehat dan kembali ke kediamannya di Cendana.

Menurut catatan media massa, ini merupakan kali kesepuluh Pak Harto dilarikan ke Rumah Sakit. Saya pribadi memiliki sebuah firasat, jangan-jangan angka 10 itu akan betul-betul genap. Kondisi Pak Harto yang kritis saat ini memang terlihat yang paling parah ketimbang kondisi sakitnya di waktu-waktu lalu. Kerja keras Tim Dokter Kepresidenan dapat dipantau setiap saat, asalkan kita selalu stay tune di televisi. Mengagumkan!!! Tim Medis yang hebat itu sudah terbukti berkali-kali menyelamatkan nyawa Pak Harto. Mereka begitu telaten, penuh tanggung jawab, profesional, dan sangat berhati-hati. Bagaikan seorang pecinta seni yang membenahi koleksi keramik langka dengan penuh kelembutan agar tidak pecah berantakan. Selain Tim Medis yang profesional, negara pun tak lari dari tanggung jawab. Pembiayaan ditanggung negara. Betapa Pak Harto masih sangat dihormati.

Namun, saya agak miris ketika teringat kisah Bung Karno, yang saya baca bertahun-tahun lalu. Kisah yang dituliskan oleh seorang pengawalnya bernama Bambang Widjanarko, sungguhlah kontras jika dibandingkan dengan kondisi Pak Harto saat ini.

Buku berjudul "Sewindu Bersama Bung Karno" itu membuka mata kita tentang sisi kemanusiaan seorang Bung Karno. Ia yang hebat, ia yang tegas, ia yang berwibawa, ia yang dicintai rakyat. Tak ketinggalan sisi human yang Bung Karno yang flamboyan, playboy (ini istilah saya sendiri), dan kisah-kisah asmara dan bagaimana dia "bersandiwara" di depan seorang istri, demi menjumpai istri yang lain. Bagian buku itu yang ingin saya kutipkan di sini ialah kondisi saat post power Bung Karno. Ia diasingkan, dilarang keluar rumah, dilarang membaca koran, dilarang dijenguk selain oleh keluarga inti.

Seorang Bung Karno yang tegar dan berwibawa, pernah sampai menangis saking inginnya jalan-jalan dan menghirup udara luar barang sejenak. "Bung Karno nangis di pundak saya. 'Saya kan pingin juga keluar, tapi kenapa saya kok diperlakukan begini? Salah saya apa?' keluh beliau... Beliau kan nggak pernah diadili, tapi kenapa kok dirumahkan?" Begitu ucapan Prof Dr Mahar Mardjono, anggota Tim Dokter Kepresidenan di masa Bung Karno. Keinginan itu tak pernah terwujud. Sampai akhirnya, Bung Karno "pergi" dalam kondisi serba mengenaskan!!!

Kita bandingkan cerita itu dengan kondisi Pak Harto sekarang. Di sebuah Rumah Sakit skala internasional di Jakarta, pengawalan ekstra ketat dari para "tukang pukul", Tim Medis yang hebat dari Tim Dokter Kepresidenan. Pendek kata, Pak Harto menikmati perhatian keluarga dan negara. Pak harto diperlakukan dengan sangat manusiawi, dan masih sangat dihormati. Sangat bertolakbelakang dengan perlakuan terhadap Proklamator Bung Karno yang menjadi tahanan rumah sampai akhir hayatnya.

Sambil terus mengikuti perkembangan lewat TV dan internet, saya membaca sebuah buku pinjaman, berjudul "Siapa Sebenarnya Soeharto". Buku ini sebenarnya reproduksi ulang dari liputan majalah DeTAK, pada edisi mengenang peristiwa G-30-S/PKI, 29 September 1998. Me-refresh lagi ingatan akan catatan sejarah, tentang sepak terjang seorang Soeharto. Ya, buku tersebut menguak fakta baru seputar peristiwa G30S/PKI, tentang "pembangkangan" Soeharto dan sinyalir keterlibatannya dalam kup berdarah itu. Saya tak ingin membahas isi buku itu di sini. Mungkin sebuah renungan kecil saja.

Kira-kira begini: kita kenang Bung Karno, seorang founding father negara kita, yang akhirnya mengenaskan di akhir hayatnya. Ia yang semula sangat dihormati, menjadi sangat "hina" di masa tua bahkan sampai wafat. Lalu ada sosok Pak Harto, yang telah menguasai negara dan "pikiran" kita selama 32 tahun. Betapa saat berkuasa, dia begitu dihormati? Tak hanya dihormati, tetapi juga ditakuti!!! Begitu Pak Harto lengser keprabon, betapa ia pun menjadi hujatan. Segala boroknya di masa lalu dibongkar dengan berani. Pak Harto yang semula begitu berwibawa, segera tampak "bukan apa-apa". Sungguh, masa tua yang sangat memilukan!

Saya pikir, tak ada dari kita yang ingin mengalami masa tua seperti dua tokoh kita itu. Bagaimana seharusnya masa tua yang indah itu? Tentu, masa tua yang tenang dan penuh dengan odor santistica, aroma kesucian. Namun, terkadang hidup memang susah ditebak. Apapun dapat menimpa diri kita, tanpa kita sadari.

Pontianak, 13 Januari 2008
SEVERIANUS ENDI

* Foto-foto ilustrasi dari internet.




2 komentar:

  1. Menarik sekali....
    tapi kita tidak perlu heran mengapa antara sukarno dan suharto diperlakukan berbeda. Pada saat sukarno lengser, banyak kalangan yang menjauhinya dan memfitnahnya dengan berbagai alasan (akibat propaganda pemerintah pada rakyat).

    Sementara untuk kasus suharto dia juga banyak dihujat, tapi masih banyak juga kalangan yang memujinya karena pengabdiannya pada bangsa selama 32 tahun meskipun dia juga memiliki banyak kesalahan dan dosa2 sosial.

    BalasHapus
  2. thanks bung junjung...
    yah memang paradoks
    dua sosok
    dua jasa besar
    hanya finishingnya aja yang beda :)
    suatu renungan berharga tentang rahasia kehidupan

    BalasHapus

terima kasih telah berkomentar :)

Pak Harto: Sebuah Renungan Kecil